Quantcast
Channel: Buku – krikititikus
Viewing all 101 articles
Browse latest View live

[Cerpen Favorit] Kisah Kasih Oto dan Wiwik

$
0
0

.
(cerita pendek oleh Joni Ariadinata)

.

Seperti dalam film, Oto dan Wiwik pasti bahagia. Artinya, tidak susah-susah lagi cari tempat sembunyi kalau hanya sekedar mau main-main porno; bisa berlari-larian di tepi pantai sambil membawa bunga dari pagi sampai sore, main kuda-kudaan, tamasya sesuka hati kemana pun tanpa khawatir nginap di losmen: semuanya pasti oke. Boleh. Jelas karena semua tujuan hidup kini telah berakhir. Dunia penuh bunga, cekikik geli, bisikan cinta, dan sebangsanya yang bagus-bagus. Yang senang dan suka. Sungguh, kalau tidak percaya silahkan tanya sama Ujang, pada Bohim, terutama pada Agus yang kini dipenjara karena berkelahi. Apa saja yang mereka pikirkan ketika berpacaran dengan Siska? Apa cita-cita mulia mereka berdua ketika senang-senang di tepi hutan waktu jam pertama lonceng berdentang. Dan Bohim lantas menculik Linda karena dulu Pronocitro juga menculik Roro Mendut.

“Wik sayang, ijinkan nanti membuka bengkel motor. Bengkelku pasti laris. Terkenal, dan kita akan banyak uang buat nonton film.”

“Bagus. Ah, pasti kamu sangat capek. Tapi jangan takut, aku akan membantumu dengan jualan gado-gado!”

“Di depan bengkelku? Jangan jauh-jauh.”

“Ya. Bila perlu, kita satukan dengan bengkelmu.”

“Demi Tuhan. Kita tidak akan berpisah barang sesenti. Kau harus bersumpah… demi Tuhan!”

“Ya. Demi Tuhan. Sudahlah…”

“Kelak kita bikin rumah yang besar. Tingkat dua, ya, ya. Ah, tapi jangan… Itu tidak boleh saja. Aku takut kalau kamu hamil nanti kepeleset. Terus jatuh di tangga. Anak kita bisa cacat, kan?”

“Aku tidak mau punya anak pincang!”

“Heh-heh-heh, ya jangan dong. Harus sehat, semua sehat. Minum susu yang banyak (aku juga ya? –aiiih, genit ih; jangan begitu…); daging yang banyak, mainan yang banyak, baju yang banyak. Semuanya banyak.”

“Di perutku, nanti kamu bikin sepuluh?”

“Sepuluh?! Woooow, tidak… tidak. Harusnya sebelas. Biar pas buat kesebelasan. Ha-ha-ha!”

“Hik-hik-hik.”

Dan Wiwik tidak mesti gemetar meski masih bau kencur. Oto tak kalah hebat meski orang berkata masih ingusan. Anak muda sudah biasa, apalagi sekarang Oto sudah bebas membopong Wiwik di tempat terang. Bukankah Oto dan Wiwik sudah kawin?

Memang. Yang namanya kawin, berarti semua permasalahan sudah beres. Kawan-kawan sekelas semua berdatangan membawa kado (bayangkan, betapa banyaknya barang-barang mereka nanti: sebagian bisa bisa dijual, sebagian bisa dipakai). Semua gembira: “Lu jantan juga To! Hebat deh gua bener-bener salut. Selamat menempuh hidup baru ya? Ingat lho, jangan keras-keras, nanti Wiwik bisa tereak. Alamaaaak…” Semua tertawa. Riuh. Oto dan Wiwik ganti meledek: “PR Pak Hardi yang sangar itu kumpulkan!” “Waaah, mentang-mentang lu sudah bebas. Sial, awas lu!!” “Makan tuh pelajaran kimia dan matematika. Gua sih sudah pensiun. Ya enggak? Makanya jangan menghayal melulu. Kebanyakan nonton BF lama-lama lu bisa sableng. Tiru gua. Ngapain sekolah. Mendingan kawin. Ya enggak?

Emak dan Abah yang dulu galak tidak ketulungan juga turut senyum mengurut dada. Pada waktu sungkem orangtua terakhir kalinya mencoba berkata (barangkali saking bosannya): “Nak, kini terpaksa kamu sudah jadi orang. Kalau buah itu namanya dikarbit. Kalau sapi itu namanya dikawin pakai inseminasi buatan. Berumahtangga itu sulit. Sulit itu artinya tidak gampang. Tidak gampang itu artinya sukar. Dan sukar… (wuaaah, mulai lagi). Jadi Oto, mulai besok carilah kerja. Wiwik, apakah kamu sudah siap menjadi ibu?” Biasa, orang tua di manapun memang selalu kuno. Menyebalkan.

* * *

“Selamat pagi, Mamah.”

“Selamat pagi, Papah.”

Karena pengantin baru, maka harus rileks, meski tetap bersemangat. Betul-betul dijaga, misalnya dengan berjalan mesra berdua bergandengan tangan ke pasar membeli telur ayam kampung dan madu palsu setiap hari. Tidur yang cukup, bangun jam sembilan atau jam sepuluh, jika berkenan siang pun bisa jadi. Berdebat untuk merencanakan nama panggilan: Oto harus bilang Mamah sama Wiwik, Wiwik setuju bilang Papah pada Oto. Berdebat untuk memilih menu makanan: Hari ini indomie, besok sarimi, besoknya lagi supermi, kemudian popmie; dan kalau bosan barulah beli nasi bungkus.

Tak ada yang bakal protes karena Abah dan Emak sudah mengontrakkan “rumah kita” di pinggir kota yang sumpek. Tak usah khawatir karena di rumah kita yang berkuasa cuma kita berdua. Seperti dalam film Pengantin Pulau Biru, semua enak. Seperti dalam novel-novel murahan, semua pasti nikmat. Karena hidup itu bisa dibuat gampang, dan berduaan siang dan malam itu indah. Makanya kalaupun suatu hari Wiwik harus cemberut, jangan salah tafsir jika Oto tidak sanggup tidur semalam suntuk. Jika Wiwik menangis, Oto bertekuk lutut, “Sudahlah kekasih, dengarlah Mamah pujaan hidup dan mati. Papah berjanji deh mulai besok tidak akan lagi ngorok. Papah tidak tahu kalau Mamah betul-betul takut. Sungguh.” Begitupun sebaliknya, kalau Oto sakit hati. Seisi bumi dan langit, dilihat Wiwik persis mirip neraka. Duhai pujaan hati! Kalau terus-menerus begitu, Wiwik pun bisa mati.

* * *

“Papah, selamat sore. Mamah, selamat sore. Kita berdua hari ini lapar,” katanya. Seminggu, dua minggu, tiga bulan, kehidupan berjalan seperti bulan mengelilingi bumi. Bintang-bintang tetap berkerlip. Persoalan perdebatan “rumah bertingkat dua” sepakat berakhir di kertas gambar: bahwa coretan pinsil kotak-kotak kecil berarti maksudnya kamar, dan kotak-kotak besar itu jelas ruang tengah. Dapurnya kecil saja karena Wiwik yang usul, serta diusahakan Oto yang mengecat dengan warna krem. Di taman, nanti ada kolam berisi ikan merah-kuning dan hitam. Harus ada bangku di bawah palem, atau cemara juga bisa. “Kita bisa duduk di sini,” Oto menunjuk gambar. Wiwik mencubit. Kemudian mereka berdua tidur, barangkali gambar itu besok pagi harus dirombak lagi.

Hal lain yakni rencana membuka bengkel motor yang sudah jelas penuh keraguan. Sebab Oto tak bisa memperbaiki motor. Apalagi bongkar-bongkar mesin. Harus kursus dulu, sementara mempelajari rumus-rumus listrik rasanya pasti payah. Tambal ban? Ha… Wiwik yang tidak tega, katanya. “Kasihan Oto, nanti bisa sakit gudig sebab tukang tambal sama saja dengan kuli; di samping penghasilannya nanti tak seberapa. Mana bisa beli VCD Player? Nah, apakah Oto juga tega melihat Wiwik jadi penjual gado-gado? Oto sering melihat penjual gado-gado di pinggir jalan bajunya amburadul rambut tak terurus, “Tidak Mamah, kasihku, Papah takut badanmu bau. Seperti Mbok Jurig. Rambutnya riwig-riwig…”

“Jadi sekarang bagaimana?” keduanya terdiam. Telentang diam-diam. “Kita sudah tidak punya uang. Badan Mamah semakin kurus. Kasihan engkau Papah, kalau Mamah peot, bagaimana? O ya, Papah!” tiba-tiba Wiwik masih ingat sesuatu. “Katanya Papah mau menjual termos di kerdus. Kado dari Sandra? Kasihan ya Sandra…”

“Ya, kasihan Sandra,” Oto menggaruk-garuk kepala. “Ke tukang loak?”

“Aiiiih!” Wiwik memekik. Menubruk di pangkuan Oto, “Tidak, tidak, darling. Masa Mamah tega sama Papah. Papah malu nanti kan? Uh-uh-uuuuuuh,” Wiwik tersedu. “Maafkan Mamah, darling,” ia menangis. Oto jadi terharu dan mengelus rambut Wiwik penuh perasaan. Penuh perlindungan. Oto jadi merasa tangannya seolah-olah begitu perkasa sehingga perlu menengadahkan wajah Wiwik dan menghapus air matanya lembut, seperti pahlawan: “Jangan tumpahkan air matamu kekasih. Seluruh margasatwa pasti sedih. Tataplah aku, dewiku, masih ada aku di sini. Jadi jangan takut. Sudahlah. Lupakan hal sepele. Kita keluar, Mamah, menikmati angin malam. Kita berjalan sambil memandang langit. Menatap lampu-lampu, kemudian kita duduk di sana dan biarkan aku tetap memelukmu.”

* * *

“Bagaimana kata Abah?” Wiwik bertanya. Menghapus peluh di dahi Oto, “Engkau capek, Papah. Pasti capek.”

“Kita sudah sembilan kali ke tempat Abah. Ini yang terakhir, sebagai modal. Aku malah bingung mau diapakan. Katakanlah Mamah, apa pendapatmu?” Oto merebahkan badan di sofa. “Tidak banyak, tapi ini yang terakhir.” Wiwik terdiam. Lama. Berpikir lama-lama dan tak ada sedikitpun jalan yang harus dijawab. Tapi sebagai istri ia paham kekasihnya pasti sedih, “Baiklah Papah, bagaimana kalau kita nonton film saja? Engkau hanya terlalu capek, dan dengan menonton film pikiran kita bisa segar. Lagi pula sudah enam bulan kita tidak ke sana.” Ya, sungguh Oto takjub atas kealpaannya. Sungguh ia lupa.

Sepasang merpati yang melompat-lompat diantara deretan toko. Dari pintu Cineplex menelusuri trotoar, berebut sebungkus kacang dan kue donat, tertawa-tawa. Tersenyum bergenggaman tangan, “Seperti dulu ya Papah. Seperti enam bulan yang lalu sekali. Apakah tidak boleh Papah? Kalau hanya sekedar menonton-nonton saja barang sebentar di supermarket? Mungkin dengan melihat deretan pakaian bagus-bagus pikiran kita bisa lebih bebas lagi.”

Ya, tentu boleh. Badai, samudra, langit ambruk, gunung himalaya, apapun tak mampu menentang. Mereka berpandangan; memegang, melihat, mengelus, mencoba-coba, mencium keharumannya, lantas dengan geli berkedip-kedip. Ada sinar cinta tersangkut di gantung-gantung Hammer berselat halus jumper biru bergaris putih, tentu boleh, sebab Oto amat trenyuh. Ada kerinduan melayang pada hamparan levis di balik kaca, tentu boleh, sebab Wiwik amat kasih. Dibungkus di meja, dibayar di kassa. Harga yang amat murah dibanding cinta milik mereka. Kenapa dibuat susah sedang hidup berdua segalanya menjadi indah? “Homyped Papah, bentuk yang bagus untuk sandal wanita. Indomie, supermie, sarimie, popmie, Papah?” Dan matahari tenggelam dalam gurat warna melon. Langit biru bersih di timur ada kelepak bangau. Ketika malam terkapar dalam kegelisahan mendadak, “Bagaimana kalau semuanya ini habis Papah? Sedang kita tak punya modal untuk berbuat apa lagi.”

Kenapa cinta tidak boleh dibiarkan begitu bersih. Sehingga pecinta-pecinta sejati bebas bernyanyi sepanjang hari tanpa ada duka dan murka. Tapi lupakanlah, bahwa hari ini mereka masih bisa tertawa, membuka jendela, memandang pagi. Bunga-bunga seperti musim semi, daun-daun tumbuh di awal musim penghujan.

Tak ada malam menjadi gelap karena mata mereka selalu terlelap dalam dekap. Tak ada siang menjadi hilang karena mereka kini tak lagi takut bayang-bayang. Detik demi detik, hari demi hari, dan genap seminggu ketika jendela rumah kita tertutup. Berhari-hari, berminggu-minggu, sampai saat orang-orang mencium bau busuk dan menemukan mereka bertubuh kaku. Mata anak-anak yang baik, dan cinta mereka begitu indah. Betapa orang-orang akan menatap langit karena teramat sedih. Memandang ke surga. Atau entah di mana…

*

Yogyakarta, 1994.

Diketik ulang dari buku Air Kaldera (Joni Ariadinata, Aksara Indonesia, 2000).


[Cerpen Favorit] Denton’s Death

$
0
0

.
(a short story by Martin Amis)

SUDDENLY DENTON REALIZED that there would be three of them, that they would come after dark, that their leader would have his own key, and that they would be calm and deliberate, confident that they had all the time they needed to do what had to be done. He knew that they would be courtly, deferential, urbane—whatever state he happened to be in when they arrived—and that he would be allowed to make himself comfortable; perhaps he would even be offered a last cigarette. He never seriously doubted that he would warm to and admire all three at once, and wish only that he could have been their friend. He knew that they used a machine. As if prompted by some special hindsight, Denton thought often and poignantly about the moment when the leader would consent to take his hand as the machine began to work. He knew that they were out there already, seeing people, making telephone calls; and he knew that they must be very expensive.

At first, he took a lively, even rather self-important interest in the question of who had hired the men and their machine. Who would bother to do this to him? There was his brother, a huge exhausted man whom Denton had never liked or disliked or felt close to or threatened by in any way: they had quarreled recently over the allotment of their dead mothers goods, and Denton had in fact managed to secure a few worthless extras at his brothers expense; but this was just one more reason why his brother could never afford to do this to him. There was a man at the office whose life Denton had probably ruined: having bullied his friend into assisting him with a routine office theft, Denton told all to his superiors, claiming that he had used duplicity merely to test his colleague (Denton’s firm not only dismissed the man—they also, to Denton’s mild alarm, successfully prosecuted him for fraud); but someone whose life you could ruin so easily wouldn’t have the determination to do this to him. And there were a few women still out on the edges of his life, women he had mistreated as thoroughly as he dared, all of whom had seemed to revel in his frustrations, thrill to his regrets, laugh at his losses: he had heard that one of them was about to marry somebody very rich, or at any rate somebody sufficiently rich to hire the three men; but she had never cared about him enough to want to do this to him.

Within a few days, however, the question of who had hired them abruptly ceased to concern Denton. He could muster no strong views on the subject; it was all done now, anyway. Denton moved slowly through the two rooms of his half-converted flatlet, becalmed, listless, his mind as vacant as the dust-filmed windowpanes and the shrilly pictureless walls. Nothing bored him anymore. All day he wandered silently through the flat, not paying for it (no payment seemed to be seriously expected), not going to his office more than once or twice a week and then not at all (and no one there seemed to mind; they were tactful and remote like understanding relatives), and not thinking about who had hired the three men and their machine. He had a little money, enough for milk and certain elementary foods. Denton had been an anorexic in his youth because he hated the idea of becoming old and big. Now his stomach had rediscovered that ripe, sentimental tenseness, and he usually vomited briskly after taking solids.

He sat all day in his empty living room, thinking about his childhood. It seemed to him that all his life he had been tumbling away from his happiness as a young boy, tumbling away to the insecurity and disappointment of his later years, when gradually, as if through some smug consensus, people stopped liking him and he stopped liking them. Whatever happened to me? thought Denton. Sometimes he would get a repeated image of himself at the age of six or seven, running for the school bus, a satchel clutched to his side, his face fresh and unanxious—and suddenly Denton would lean forward and sob huskily into his hands, and stand up after a while, and make tea perhaps, and gaze out at the complicated goings-on in the square, feeling drunk and wise. Denton thanked whoever had hired the three men to do this to him; never before had he felt so alive.

Later still, his mind gave itself up entirely to the coming of the men and their machine, and his childhood vanished along with all the other bits of his life. Facelessly, Denton “rationalized” his kitchen supplies, importing a variety of dried milk and wide-spectrum baby foods, so that, if necessary, he should never have to leave the flat again. With the unsmiling dourness of an adolescent Denton decided to stop washing his clothes and to stop washing his body. Every morning subtracted clearness from the windowpanes; he left the dry, belching heaters on day and night; his two rooms became soupy and affectless, like derelict conservatories in summer thunder. Once, on an impulse, Denton jerked open the stiff living-room window. The outdoors tingled hatefully, as if the air were full of steel. He shut the window and returned to his chair by the fire, where he sat with no expression on his face until it was time to go to bed.

At night, exultant and wounding dreams thrilled and tormented him. He wept on scarlet beaches, the waves climbing in front of him until they hid the sun. He saw cities crumble, mountains slide away, continents crack. He steered a dying world out into the friendly heat of space. He held planets in his hands. Denton staggered down terminal arcades, watched by familiar, hooded figures in dark doorways. Little flying girls with jagged predatory teeth swung through the air toward him at impossible, meandering speed. He came across his younger self in distress and brought him food but an eagle stole it. Often Denton awoke stretched diagonally across the bed, his cheeks wet with exhausted tears.

When would they come? What would their machine be like? Denton thought about the arrival of the three men with the gentle hopelessness of a long-separated lover: the knock at his door, the peaceful and reassuring smiles, the bed, the request for a cigarette, the offer of the leaders hand, the machine. Denton imagined the moment as a painless mood swing, a simple transference from one state to another, like waking up or going to sleep or suddenly realizing something. Above all he relished the thought of that soothing handclasp as the machine started to work, a ladder rung, a final handhold as life poured away and death began.

What would his death be like? Denton’s mind saw emblem books, bestiaries. Nothing and a purple hum. Deceit. An abandoned playground. Hurtful dreams. Failure. The feeling that people want to get rid of you. The process of dying repeated forever, “What will my death be like?” he thought -and knew at once, with abrupt certainty, that it would be just like his life: different in form, perhaps, but nothing new, the same balance of bearables, the same.

Late that night Denton opened his eyes and they were there. Two of them stood in the backlit doorway of his bedroom, their postures heavy with the task they had come to do. Behind them, next door, he could hear the third man preparing the machine; shadows filled the yellow ceiling. Denton sat up quickly, half-attempting to straighten his hair and clothes. “Is it you?” he asked.

“Yes,” said the leader, “we’re here again.” He looked round the room. And aren’t you a dirty boy.”

“Oh don’t tell me that,” said Denton, “—not now.” He felt an onrush of shame and self-pity, saw himself as they saw him, an old tramp in a dirty room, afraid to die. Denton lapsed into tears as they moved forward – it seemed the only way left to express his defenselessness. “Nearly there,” one of them called fruitily through the door. Then all three were upon him. They hauled him from his bed and pushed him into the living room. They began to strap him with leather belts to an upright chair, handling him throughout like army doctors with a patient they knew to be difficult. It was all very fast. “A cigarette—please,” said Denton. “We haven’t got all night, you know,” the leader whispered. “You do know that.”

The machine was ready. It was a black box with a red light and two chromium switches; it made a faraway rumble; from the near side came a glistening, flesh-colored tube, ending in what looked like a small pink gas mask or a boxers mouthpiece. “Open wide,” said the leader. Denton struggled weakly. They held his nose. “Tomorrow it’ll be a thing of the past,” said the leader, “finished… in just… a couple of minutes.” He parted Denton’s clenched lips with his fingers. The soft mouthpiece slithered in over his front teeth-it seemed alive, searching out its own grip with knowing fleshy surfaces. A plunging, nauseous, inside-out suction began to gather within his chest, as if each corpuscle were being marshaled for abrupt and concerted movement. The hand! Denton stiffened. With hopeless anger he fought for the leaders attention, tumescing his eyes and squeezing thin final noises up from deep in his throat. As the pressure massed hugely inside his chest, he bent and flexed his wrists, straining hard against the leather bands. Something was tickling his heart with thick strong fingers. He was grappling with unconsciousness in dark water. He was dying alone. “All right,” one of them said as his body slackened, “he’s ready.” Denton opened his eyes for the last time. The leader was staring closely at his face. Denton had no strength; he frowned sadly. The leader understood almost at once, smiling like the father of a nervous child. “Oh yes,” he said.

“About now Denton always likes a hand.” Denton heard the second switch click and he felt a long rope being tugged out through his mouth.

The leader held his hand firmly as life poured away, and Denton’s death began.

Suddenly Denton realized that there would be three of them, that they would come after dark, that their leader would have his own key, and that they would be calm and deliberate, confident that they had all the time they needed to do what had to be done. At first, he took a lively, even rather self-important interest in the question of who had hired the men and their machine. Within a few days, however, the question of who had hired them abruptly ceased to concern Denton. He sat all day in his empty living room, thinking about his childhood. Later still, his mind gave itself up entirely to the coming of the men and their machine, and his childhood vanished along with all the other bits of his life. At night, exultant and wounding dreams thrilled and tormented him. When would they come? What would his death be like? Late that night Denton opened his eyes and they were there, “Yes,” said the leader, “we’re here again” “Oh don’t tell me that,” said Denton, “- not now.” The machine was ready. The leader held his hand firmly as life poured away, and Denton’s death began.

* * *

Encounter, 1976

The World’s Greatest Rock ‘n’ Roll Scandals

$
0
0

.

scandals

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), kata ‘skandal’ berarti “perbuatan yang memalukan; perbuatan yang menurunkan martabat seseorang”. Tapi jika dilekatkan pada nama-nama rockstar—yang seolah-olah identik dengan keliaran—masihkah itu berarti martabat turun? Dalam wacana popularitas dan industri musik yang hingar-bingar, names make news, dan tentu saja bad news is good news. Semakin heboh skandal yang mereka ciptakan, justru semakin tinggi ketenaran terdongkrak. Dan skandal itu tak pernah jauh dari selangkangan, botol bir, dan zat-zat terlarang. Setelah menghiasi headline beberapa surat kabar dan tabloid kuning, puluhan kisah skandal terbesar itu dikumpulkan oleh David Cavanagh, diramunya menjadi buku tipis ber-layout buruk yang layak dibaca setiap orang yang mengaku dirinya penggemar musik. Atau lebih tepatnya, penggemar gosip musik. Para penggila The Doors, misalnya, ‘wajib’ mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Jim Morrison di hari naas di Paris, 5 Juli 1971. Atau benarkah Sid Vicious, pentolan Sex Pistols yang konon tak bisa bermain musik sama sekali, menusukkan pisau berkali-kali ke tubuh pacarnya hingga mati di sebuah kamar hotel di New York?

Buku ini sebenarnya lebih tepat diberi judul The World’s Greatest Rock ‘n’ Roll Tragedies, sebab kematian bertebaran di sana-sini. Ada apa di balik tewasnya Jimi Hendrix dan Janis Joplin? Apa hubungan serial killer Charles Manson dengan lingkaran selebritis dan musisi saat itu? Mengapa rumor ngawur tewasnya Paul McCartney akibat kecelakaan mobil makin menjadi-jadi di tahun 1966? Benarkah hanya karena othak-athik gathuk dari para fans kurang kerjaan tentang tanda-tanda kematian di lirik lagu “A Day In The Life”, ilustrasi bunga tabur berbentuk mirip gitar bass di sampul album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band, dan bahwa Paul McCartney satu-satunya personel The Beatles yang tak bersepatu di foto legendaris Abbey Road?

Fakta-fakta konyol dan seru tersebut—penting atau tidak penting itu lain soal, Bung!—disajikan dalam judul-judul bab yang dicomot dari judul lagu-lagu terkenal. Bab berjudul “Dark Side of the Loon” misalnya (kita tahu itu plesetan dari judul album apa), membahas kegilaan Syd Barrett dalam arti harfiah dan kehancurannya akibat drugs hingga harus mendekam di rumah sakit jiwa. Perihal musisi yang sempat mencicipi kerasnya hotel prodeo dibahas di bab “Jailhouse Rock”, tentu saja dari judul lagu Elvis Presley, satu nama besar yang diakui penulis buku ini sebagai, “If there had never been him, this book would not exist.”

Secara menarik, buku ini juga membahas fenomena ‘groupies’ yang mulai menggejala di akhir 1960-an. Mengutip Eric Clapton, “It wasn’t your body or your face they wanted to make love to, but your name.” Ouch. Buku ini satu bukti betapa kalimat sakti “Sex, Drugs, and Rock ‘n’ Roll” bukanlah jargon belaka. Apa boleh buat, mereka ‘mengamalkan’-nya dengan sepenuh hati. [Budi Warsito]


The World’s Greatest Rock ‘n’ Roll Scandals

David Cavanagh, 1994, Bounty Books, 160 pages.

Music: A Very Short Introduction

$
0
0

.

musicKetika diwawancarai sebuah majalah musik, Elvis Costello pernah mengatakan, “Writing about music is like dancing about architecture.” Lebih jauh lagi, “It’s a really stupid thing to want to do.” Satu pernyataan menohok dan pesimistis. Tapi pada kenyataannya, buku-buku tentang musik akan tetap ditulis dan diburu orang. Benarkah menulis tentang musik itu hal yang bodoh?

Nicholas Cook, seorang profesor musik dari University of Southampton, Inggris, bisa jadi tidak sepakat. Meski pendapat Costello itu dia sertakan di kata pengantar Music: A Very Short Introduction, buku-tipis-padat-berisi yang ditulis Cook ini justru menunjukkan betapa menulis musik bisa jadi sesuatu yang serius, intens, dan mencengangkan. Buku ini memang berbau akademis, namun relatif santai. Dengan merujuk di sana-sini pemikiran dari beberapa filsuf (Wittgenstein, Adorno, dsb), buku ini membahas Musik (dengan “M” besar) dan kaitannya dalam kompleksitas dunia yang semakin tua ini. Bab pertama dibuka dengan kalimat menggebrak “I want to be… a musician.” Tapi jangan harap menemukan kiat-kiat praktis menjadi musisi. Yang ada justru sebaliknya: mempertanyakan, apa sebenarnya “musisi” itu?

Dengan pisau analisis yang tajam dan selera humor yang bagus, Cook menari-nari di padang musik yang cukup luas: mulai dari pembahasan The Ninth Symphony-nya Beethoven yang abadi, awal terbentuknya Spice Girls dari sebuah iklan audisi, hingga notasi pada instrumen tradisional Cina. Kita juga diajak berpikir ulang tentang wacana gender dalam musik (“A woman’s place is in the kitchen, not in the symphony orchestra…”), seberapa besar peran dunia akademik dalam perkembangan musik (“What the hell is musicology?”), dan hal-hal menarik lainnya.

Kalau kepala kamu sering dipenuhi pertanyaan: kenapa penggemar Radja sama banyaknya dengan pembencinya; kenapa The Mars Volta mendapat tempat terhormat di kalangan kritikus musik; dan kenapa Slamet Abdul Sjukur tetap setia di jalur musik kontemporer; mungkin buku ini bisa membantu kamu ke arah jalan yang terang. [Budi Warsito]

Music: A Very Short Introduction
Nicholas Cook, Oxford University Press, 2000, 144 pages.

Surat dari Teman: “Adu Jotos Budie dan Alexie di Surga“

$
0
0

.
We all know that nostalgia is dangerous,
but I remember those days with a clear conscience
.”
The Toughest Indian in The World. Sherman Alexie, 2000.

Meskipun sudah diperingatkan, saya masih keukeuh ber-nostalgia (nostalgila?) mengingat dengan jelas hari-hari saya bisa sampai ke hadapan kutipan sendu ini. Masa-masa itu adalah periode di mana saya, yang baru lulus setelah 5 tahun berkutat di bangku perkuliahan, dan akibat ketakutan irasional untuk masuk dunia kerja malah terjun bebas ke dalam dunia malam, maksudnya, dunia begadang; atau kerennya: dunia insomnia. Dunia malam dan dunia maya layaknya partners in crime, menggoda saya untuk bergaul dengan makhluk-makhluk gentayangan yang eksis di dua dunia tersebut. Salah satunya bernama Budie.

Sosok yang saya anggap jenius ini saya kenal saat kami membicarakan satu film klasik Italia (yang tidak akan saya bahas di sini). Setelah itu, ia memberi peta rahasia menuju ‘rumah pohon‘-nya yang sederhana, bercat dinding gelap, perpaduan warna hitam-putih. Ketika iseng-iseng bermain ke sana lain waktu, saya menemukan secarik kertas lusuh berisikan sebuah cerita tentang masa lalu yang kurang begitu penting sebetulnya, tetapi kutipan pembukanya cukup menarik perhatian saya. Ya, kutipan yang sama dengan pembuka tulisan ini, diambil dari salah satu cerpen yang ditulis Sherman Alexie, seorang pengarang Indian Amerika dari suku Spokane atau Coeur d’Alene. Inilah kali pertama saya mendengar nama Alexie, thanks to Budie.

Selepas membaca kutipan itu, saya langsung tahu bahwa saya akan menyukai karya-karya Alexie, dan juga kisah-kisah masa lalu Budie yang berserakan di setiap sudut ‘rumah’-nya (yang saat itu saya yakini sedih dan ternyata di kemudian hari, saya benar). Di malam-malam saat dia sedang tidak tidur (dan saya tidak bisa tidur) itulah, Budie berceloteh tak henti-henti mengenai Alexie, bagaimana ia mengagumi karya-karyanya. Begitu semangatnya dia merekomendasikan saya buku-buku Alexie apa saja yang harus saya baca, hingga akhirnya diam-diam saya mencari tahu sendiri tentang Alexie dari internet. Saya hanya berhasil menemukan satu cerpennya yang dimuat di New Yorker, selebihnya nihil. Seperti memahami keputusasaan saya, dia pun menawarkan untuk memberikan fotokopi buku-buku Alexie saat kami akhirnya bertemu secara langsung di dunia nyata. Budie memang baik, meski penuh kontroversi dan kontradiksi di sana-sini, persis karakter-karakter di tulisan Alexie yang saya kenal kemudian.

What You Pawn I Will Redeem” adalah cerpen pertama Alexie yang saya baca. Saya melahapnya di kereta, dalam sebuah perjalanan panjang yang rencananya berakhir di Bandung, tempat Budie berada. Saya berkali-kali sengaja berhenti membaca untuk meresapi emosi yang terpancar dari kisah tersebut. Di sini Alexie bercerita mengenai seorang laki-laki Indian Spokane tuna wisma yang suka  mabuk. Laki-laki yang bernama Jackson Jackson (atau Jackson Squared) ini berupaya mengumpulkan uang sebanyak $ 999 dalam 24 jam untuk membeli regalia (pakaian khusus penari yang digunakan pada saat powwow, upacara ritual suku Indian) milik almarhum neneknya yang dijual di sebuah rumah gadai misterius. Regalia ini dicuri saat neneknya masih hidup, dan Jackson merasa peristiwa inilah yang membuat neneknya patah hati tak tersembuhkan, mengidap kanker, lalu meninggal.

Perjalanan Jackson dalam mengumpulkan $ 999 dalam satu hari diwarnai dengan banyak peristiwa, baik yang mengharukan, manis, sampai yang tak masuk akal. Mendapatkan lotre $ 100 yang dihabiskannya untuk mentraktir ‘saudara-saudaranya’ di sebuah bar Indian (seorang Indian selalu memanggil Indian lain dengan ‘cousin‘ atau ‘brothers‘). Bercinta dengan Indian Duwamish yang baru dikenalnya. Bertemu dengan tiga Indian Aleuts yang duduk di bangku kayu dermaga menatap teluk dan menangis, menunggu kapal yang seharusnya menjemput mereka pulang sejak 11 tahun lalu. Ditolong oleh polisi kulit putih baik hati yang membangunkan Jackson2 yang pingsan di tengah-tengah rel kereta api. Akhir ceritanya tidak akan saya beberkan di sini, tetapi saya hanya ingin mengatakan: betul-betul menyentuh.

Sementara “Dear John Wayne“, cerpen Alexie kesukaan Budie, mengisahkan seorang antropolog kulit putih yang mewawancarai seorang wanita lanjut usia Spokane. Dalam tulisan ini, terlihat bagaimana orang kulit putih menyepelekan serta dengan ‘naifnya’ menganggap Indian hanya sebagai objek eksotis yang dapat mendongeng untuk mereka. Sayang sekali, wanita Spokane ini bukan wanita sembarangan. Objek pun menjadi subjek, bahkan ia mengaku pernah tidur dengan John Wayne (ya, John Wayne bintang film koboi itu) saat ia masih belia.

Melalui salah satu tokohnya, Alexie pernah berkata Indians are great storytellers and liars and mythmakers.” Indian adalah pencerita, pembohong, dan pembuat mitos yang handal. Saya tidak bisa tidak setuju dengannya, terutama perihal kelihaian mereka bercerita dan bermitos. Buktinya kisah-kisah Alexie jarang sekali yang mengecewakan meski saya ragukan kebenarannya. Dari sini, saya mulai curiga Budie punya darah Indian. Untuk masalah pintar berbohong, saya tidak berani mengomentari, tetapi saya tahu dia adalah pencerita yang bisa bikin pembaca/pendengarnya termehek-mehek.

Gaya penulisan Alexie yang begitu jujur, pahit, tidak diduga, tetapi sangat (SANGAT) lucu, sedikit banyak mengingatkan saya pada kisah-kisah masa lalu yang dipajang di dinding-dinding ‘kamar’ Budie.  Gambaran Budie dan Alexie, dalam memori saya, tak terpisahkan, seperti kembar tidak identik yang tak pernah saling kenal tapi saling memahami. Hanya sedikit perbedaan: kisah Alexie lebih condong ke ‘magis’, sementara Budie, sayang sekali, lebih sering ‘tragis’.

Meskipun mereka berdua dalam cerita-ceritanya tampak selalu melucu, apabila diperhatikan benar-benar, Budie dan Alexie selalu serius dalam candaannya. “Laughter is a very very serious business, Loli… ujar Budie ke saya suatu kali. Mereka berdua seolah menyuarakan betapa gentingnya perkara satu ini: humor teramat diperlukan saat harapan menghilang. Tertawa saja, karena menangis pun percuma.

Karakter-karakter yang diciptakan Alexie di karya-karyanya terkadang juga mengingatkan saya pada Budie. Karakter adalah orang yang sangat sangat lucu, namun di balik semua kelucuannya itu, terdapat kesedihan dan kepahitan yang sangat mendalam serta memilukan hati. Kesedihan dan kepahitan atas kenyataan bahwa mereka putus asa hidup (sebagai Indian); sedih sekaligus merasakan geli (atau jijik?) melihat kaumnya menjadi kumpulan pemabuk yang tidak berguna; serius sedih saat selimut sumbangan pemerintah yang diberikan untuk reservasi mereka sudah tertular cacar. Juga ketika merindu memakai kepangan rambut dan cawat serta berbincang-bincang dengan pepohonan dan sungai; kerinduan akan tarian pemanggil roh nenek moyang; dan dengan gamangnya berharap bahwa kapal-kapal laut Eropa lekas enyah, pulang ke seberang lautan, lalu para penumpangnya melambaikan tangan berjanji tak akan kembali lagi.

Titik puncaknya adalah mereka tahu bahwa mereka tak terselamatkan lagi. Mereka telah tersingkir dari rumahnya sendiri. Mereka telah kehilangan ‘salmon’ (baca: harapan) mereka. Nothing to lose. Mungkin karena adanya perasaan itulah, cerita-cerita yang dibuat Alexie bisa terasa sangat jujur, dan seperti kita tahu, kejujuran seringkali pahit dan menyakitkan. Tokoh-tokoh di cerita ini mungkin bukan orang tersuci, terbersih (dalam arti harfiahnya), atau terganteng di dunia, tetapi saya yakin, mereka adalah orang-orang yang sebenarnya baik dan manis. Mereka banyak dikekecewakan dan mengalami penolakan di dunianya, namun dengan kepala tegak mereka tetap berjalan ke depan, meski hari esok seolah tanpa harapan. Kisah-kisah Alexie juga seringkali sangat mengecoh. Kita tidak akan bisa menebak jalan ceritanya, terutama bagian akhirnya. Akhir cerita-cerita Alexie kerap sangat tidak nyambung dengan awal mula cerita. Persis seperti jalan hidup.

Menutup tulisan ini, saya ingin jujur, sebenarnya saya sedikit enggan menuliskan semua ini, karena saya merasa seperti sedang menuliskan eulogi—bukannya testimoni—bagi Budie ataupun Alexie (salahkan kata ‘surga’ di judul cerita!). Meskipun saya tahu, apabila sampai waktu itu tiba, saya tidak akan mampu menuliskan apa-apa lagi. Demi membesarkan (dan menenangkan) hati saya, maka saya berupaya mencari arti lain dari ‘surga’ itu sendiri, bukan hanya tempat selain neraka di mana kita pergi setelah mati, melainkan tempat atau momen di mana seseorang bisa merasakan bahagia saat hidup.

Sehingga tanpa harus meninggalkan dunia ini, Budie dan Alexie bisa terus beradu jotos untuk tetap bertahan hidup.

Saya menaruh uang saya untuk Budie.

- Loli.

* * *

CATATAN: Surat ini saya muat di sini tentu saja dengan seizin penulisnya (LMM). Thanks pal! —Budi Warsito.

Photocopies

$
0
0

photocopies!.
Perihal ingatan selalu menduduki tempat istimewa dalam kerumitan peradaban manusia. Berbagai penemuan tercipta demi ‘menolak hilang ingatan’: jam pasir di era Mesir kuno hingga jam weker modern buatan Swiss; lukisan purba di gua prasejarah hingga tulisan blog di dunia maya; kamera pertama ciptaan Joseph Niépce hingga piranti tercanggih di katalog terbaru Canon. Semakin maju teknologi, semakin kompleks pula pemikiran manusia: ranah ingatan kemudian melebar dari ‘sekadar upaya mengawetkan’ menjadi ‘sekaligus media berekspresi’. Tak terhitung karya seni yang lahir dari persoalan ini. Sutradara Christopher Nolan membuat film Memento, sebuah narasi menarik tentang kamera Polaroid dan perlawanan tokohnya terhadap amnesia; penyair Goenawan Mohamad menggubah puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci” yang teramat menggetarkan perihal kenangan; dan pelukis Raden Saleh dengan kanvasnya menafsirkan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh tentara Belanda.

Di antara banyak pilihan medium, John Berger, seorang novelis pemenang Booker Prize sekaligus kritikus seni yang handal asal Inggris, memilih ‘fotokopi’ sebagai lahan filosofis untuk bermain-main dengan ingatan. Dalam bukunya berjudul Photocopies, Berger berkisah tentang orang-orang yang pernah ia temui, baik yang sudah lama ia kenal, maupun mereka yang tak bernama dan hanya singgah dalam perjumpaan singkat tak sengaja. Sejumlah 29 esai pendek ditulis dalam gaya memoir yang mengasyikkan: perjalanan kapal feri menyusuri perairan Mediterania, musim panas yang menyiksa di Barcelona, perjumpaan dengan pianis muda asal Ukrania, dua siswi sekolah yang cerewet di dalam perjalanan bus dari Dublin, seorang wanita tuna wisma yang memelihara burung dara di sebuah taman di London, atau percakapan intelek dengan fotografer legendaris Henri Cartier-Bresson. Penggabungan kemampuan visual Berger (yang juga seorang pelukis), pemahaman atas pemikiran Marxist, juga penguasaan teknik merangkai kalimat puitis yang mengagumkan, menjadikannya bukan sekadar catatan biasa.

Esai pertama di buku ini, “A Woman and Man Standing by a Plum Tree” bercerita tentang perempuan yang sekilas pernah Berger lihat di Spanyol bertahun-tahun silam, tiba-tiba muncul di rumahnya di Prancis sambil menenteng kamera tua. Sebelum kembali menghilang, perempuan itu memotret dirinya bersama Berger di bawah pohon rindang. Hasil foto itu, yang dimuat di halaman pertama dan satu-satunya di buku ini, tak pernah tampak jelas. Meski menyisakan detil di beberapa titik, ia juga buram di sana-sini. Foto tersebut (yang lebih mirip hasil ‘fotokopi’ daripada ‘fotografi’) sangat tepat menggambarkan nada keseluruhan buku ini: segigih apapun kita menjaga kenangan, selalu ada yang bakal mengabur.

The two of us stood there facing the camera. We moved, of course, but not more than the plum trees did in the wind. Minutes passed. Whilst we stood there, we reflected the light, and what we reflected went through the black hole into the dark box. It’ll be of us, she said, and we waited expectantly.

Teks Berger memang berkisar di wilayah abu-abu antara ‘mengingat’ dan ‘melupa’. Fotokopi jelas sebentuk kepemilikan semu. Kita bisa saja memfotokopi satu dua halaman yang kita sukai dari sebuah buku tebal di perpustakaan, tapi itu sekaligus menegaskan bahwa kita tak mampu memilikinya secara utuh. Para petugas kelurahan tidak serta merta berarti mengambil alih identitas warganya (apalagi dalam arti luas dan seutuhnya) ketika kita menyerahkan fotokopi KTP untuk urusan administrasi penduduk: identitas tetaplah mutlak milik orang per orang.

Demikian pula dengan segala kenangan di buku ini, mereka cuma otentik di benak penulisnya. Kita, para pembaca, “hanya” berhak membaca replikanya, fotokopiannya, yang tentunya jauh dari komplet. Namun jika dituturkan dengan gaya perenungan dan selera orisinal seperti ini, rasanya sudah lebih dari cukup. Mengutip puisi Goenawan Mohamad, “Sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi.” Berger membikin mereka abadi. [Budi Warsito]


Photocopies

John Berger, 1996, Vintage International, 180 pages. Literature/Memoir.

[Cerpen Favorit] Chief Sitting Bull

$
0
0

.
(cerita pendek oleh Umar Kayam)

carousel

.
Pagi itu tidak banyak orang yang berkerumun di sekitar carousel Central Park. Hanya ada beberapa orang anak kelihatan bertengger di atas kuda-kudaan, seperti biasa tidak sabar menunggu lonceng tanda carousel berjalan berbunyi. Di bangku-bangku sekitar carousel, ibu-ibu atau pengasuh anak-anak itu duduk mengobrol sambil sesekali mengawasi anaknya. Teng-teng-teng. Lonceng berbunyi, wajah anak-anak berseri-seri, dan carousel pun bergerak. Kuda-kuda mulai naik-turun diiringi musik waltz.

Dari arah kebun binatang kelihatan seorang kakek berlari tergopoh. Di tangannya dijinjingnya sebuah kantong. Waktu sampai di muka loket, dengan napas sengal-sengal diberikannya uang lima puluh sen kepada perempuan yang menjual karcis.

“Lima, seperti biasa, Charlie?”

Charlie kembali mengangguk sambil menerima lima helai karcis yang berlaku buat naik lima kali putaran. Kemudian dia berdiri di pinggir pintu masuk. Salah seorang penjaga yang melayani anak-anak turun dari kuda, datang mendekati Charlie.

“Kau lambat hari ini, Charlie?”

“Ya. Mary, menantuku, tidak beres pagi ini.”

“Tidak beres bagaimana?”

“Masa dia lupa menaruh jatahku yang $ 1 itu di meja dapur. Pagi ini aku hanya mendapatkan sandwich-ku untuk lunch di meja itu. Terpaksa aku tunggu ia sampai kembali dari laundromat. Aku labrak dia waktu dia kembali. Sampai nangis-nangis dia minta ampun.”

“Habis itu semua beres, kan?”

“Oh, ya, tentu, tentu, Mary anak yang baik sesungguhnya. Cuma kadang-kadang dia tolol.”

Si penjaga tersenyum.

“Aku khawatir kau harus menunggu agak lama pagi ini, Charlie.”

“Apa maksudmu?”

“Lihatlah, kudamu yang putih dipakai. Begitu juga yang hitam. Kecuali kalau kau mau naik yang lain. Maukah kau?’

“Tidak, tidak. Aku cuma naik yang dua itu.”

“Jadi kau mau menunggu saja?”

“Tidak, tidak. Aku segera naik begitu putaran ini selesai.”

“Tetapi anak-anak itu terus-menerus naik sampai enam putaran. Aku tidak tahu berapa mereka diberi uang oleh ibu mereka. Anak-anak Madison Avenue itu.”

“Ah, serahkan saja kepadaku. Masa aku kalah oleh anak ingusan. Anak ingusan tetap saja masih ingusan, biarpun dia dari Madison Avenue atau dari Avenue langit pun.”

Penjaga tersenyum dan meninggalkan Charlie karena lonceng telah berbunyi menandakan putaran itu telah selesai. Charlie mendekati anak yang mengunggang kuda putih.

“Howdy, Bill.”

Anak itu agak terkejut disapa seorang kakek.

“Namaku bukan Bill.”

“Tetapi bukankah kau Buffalo Bill? Bill Cody?”

Si anak tertawa.

“Ya, ya, betul. Aku Buffalo Bill. Dan kau siapa?”

“Aku Sitting Bull.”

“Chief Sitting Bull?”

“Ho!”

“Ho!”

Charlie menepuk-nepuk kuda putih.

“He, Bill. Sejak kapan kau ganti kudamu?”

“Apa maksudmu?”

“Bukankah Buffalo Bill naik kuda merah?”

“Tidak, tidak. Buffalo Bill selalu naik kuda putih.”

“Tapi dia naik kuda merah waktu mengalahkan Sitting Bull.”

“Benarkah?”

“Ya, tentu saja. Dan Sitting Bull naik kuda putih waktu itu.”

Si anak memandang Charlie dengan penuh keraguan.

“Tunggu dulu, Pak.”

“Chief.”

“Chief. Tunggu dulu, Chief. Benarkan Buffalo Bill pernah ketemu Sitting Bull?”

“Eh, bicara apa kau? Kau ini anak Amerika, apa anak Cina? Jawablah, apakah kau anak Amerika yang baik?”

“Ya, aku anak Amerika.”

“Nah, kenapa belum tahu bahwa Buffalo Bill yang mengalahkan Sitting Bull?”

Si anak kelihatan bingung dan belum yakin betul akan kata-kata Charlie.

“He, Bill. Kudamu merah telah menunggu kau, ‘tu. Aku, Sitting Bull harus segera naik kuda putih.”

Si anak belum juga turun dari kudanya.

“Ayolah! Buffalo Bill naik kuda merah mengejar Sitting Bull yang naik kuda putih. Kalau nanti lonceng berbunyi aku akan mulai dengan wu-wu-wu-wu-wu begini dan kau, Bill, akan mulai menembak aku dari belakang. Tam, tam, tam, tam.”

“Tetapi Buffalo Bill tidak pernah mau menembak dari belakang.”

“Siapa bilang? Melawan Indian dia harus menembak dari belakang. Bukankah Indian selalu lari tiap ketemu Buffalo Bill? Dan Buffalo Bill bukankah harus mengejar dan menembak dia? Ayolah! Sebentar lagi lonceng berbunyi, ‘tu.”

“Baiklah, Chief.”

Si anak turun dari kuda putih dan berlari menuju kuda merah.

Charlie dengan tertawa terkekeh-kekeh buru-buru naik kuda putihnya. Teng-teng-teng. Lonceng tanda berputar berbunyi. Charlie melihat kepada si anak yang sekarang sudah naik punggung kuda merah. Charlie meletakkan telapak tangannya di mulutnya. Dan dengan berputarnya carousel, ditepuk-tepuknya telapak tangannya pada mulutnya : wu-wu-wu-wu, wu-wu-wu-wu-wu! Di belakangnya, si anak mulai menembak Charlie. Tam-tam-tam-tam-tam-tam!

Carousel berputar, kali itu lagu “Oklahoma” yang mengiringi.

Untuk kira-kira seperempat jam lamanya ruang carousel gegap gempita karena tembak menembak yang seru antara Buffalo Bill dan Chief Sitting Bull. Rupanya kedua pahlawan itu sama-sama sakti karena tak seorang pun yang jatuh karena tembak-menembak yang dahsyat itu.

Akhirnya Charlie pun selesai mengerjakan lima kali putaran dan turunlah dia. Si anak, karena juga telah selesai, ikut pula turun.

Charlie dan si anak sama-sama keluar.

“Itu tadi tembakan yang hebat, Chief.”

“Buffalo Bill selalu menang, Chief.”

“Betul, betul.”

“Sekarang kau mau ke mana, Chief?”

“Oh, aku harus kembali ke semak-semak sana.”

“Ke semak-semak?”

“Ya. Aku harus ketemu squaw.”

“Squaw?”

“Ya, squaw. Bukankah orang Indian laki-laki punya squaw.”

“Oh, ya, squaw. Pacar?”

“Ya, begitulah kira-kira.”

Tiba-tiba seorang diantara perempuan-perempuan yang duduk di bangku memanggil anak itu.

“Tommy!”

“Ya, Bu.”

“Ayolah. Sudah siang sekarang. Bukankah kau harus pulang makan?”

“Tapi Bu, aku harus pergi.”

“Pergi? Pergi ke mana?”

“Aku mau ikut Chief Sitting Bull ketemu squaw.”

“Ketemu apa?”

“Squaw.”

Ibu Tommy memandang Charlie. Charlie tersenyum kemalu-maluan. Tangannya meraba-raba dasinya yang lusuh, kemudian diangkatnya topinya sedikit.

“Selamat siang, Nyonya.”

Dan Charlie dengan menjinjing kantong berjalan menuju ke kebun binatang. Tommy berteriak.

“Chief, Chief!”

Tapi Charlie tidak menoleh dan ibunya juga buru-buru menyeretnya.

Di kebun binatang, Charlie duduk di bangku. Di sampingnya, duduk seorang nenek yang sebaya dengan Charlie.

“Kau lambat hari ini, Charlie.”

“Ya, maaf, Martha.”

“Burung-burung resah menunggumu. Tentulah mereka mengira tidak mendapat jagung dan jali hari ini.”

“Oh, mereka akan mendapat. Aku tidak akan lupa. Sebabnya aku lambat karena Mary, menantuku.”

“Kenapa dia?”

“Oh, seperti biasa. Menantu-menantu bukankah selalu mencoba menyabot mertua-mertua mereka tiap kali ada kesempatan? Apalagi mertua yang sudah tua-tua seperti aku atau kau. Tidak pernahkah kau disabot menantumu?”

“Tiap hari, meskipun aku tidak tinggal dengan anak dan menantuku. Ada saja akal mereka untuk terus menggangguku. Bagaimana Mary menyabot kau pagi tadi?”

“Pertama, aku dikasih toast yang gosong-gosong saja buat sarapanku. Sudah itu dikasihnya aku cereal. Dianggapnya aku ini bayi, apa? Lalu yang terakhir, dan ini yang terlalu!”

“Apakah itu?”

“Mary pura-pura lupa, tidak menyediakan uang harianku.”

“Terlalu!”

“Ya, bukankah sudah terlalu benar itu. Enak saja dia pergi ke laundromat, membiarkan mertuanya kelabakan di rumah, aku labrak habis dia. Aku bilang kalau memang dia tidak sudi lagi aku tinggal di situ, aku minta disewakan rumah sendiri. Kalau dia tidak berjanji menghentikan ulahnya yang tidak beres itu, aku mengancam mau mengadukannya kepada Johnny. Oh, nangis dia.”

“Ya,ya, sering kali menantu-menantu itu memang tidak tahu terima kasih.”

Sementara itu, sekelompok burung dara turun berkumpul di muka Charlie dan Martha. Kemudian datang lagi sekelompok, dan lagi sekelompok. Charlie mulai bersiul-siul memanggil-manggil mereka. Dikeluarkannya jagung dan jali dari kantongnya dan disebar-sebarkannya kepada burung-burung itu. Beberapa burung mulai bertengger di kedua bahunya. Mereka berebut minta makanan yang ada di tangan Charlie.

“Oh, oh, oh. Sabar, sabar, anak-anak. Sebentar kau juga dapat.”

Seekor dara putih datang bertengger di bahu Charlie dan dengan galaknya mematuk kawan-kawannya yang ada di bahu. Habislah mereka terbang, tinggal lagi si dara putih yang ada di bahu Charlie.

“Bukankah kau dara terlalu?”

“Ya, dara ini selalu nakal, Charlie. Di bawah tadi juga sudah menyikut-nyikut temannya dengan enak saja. Sekarang di bahumu begitu pula. Kita namakan saja dia, si Tamak.”

“Ya, tepat sekali, Martha. Tamak, Tamak.”

Dan si Tamak pun terbang lagi. Lama kelamaan persediaan jagung dan jali Charlie habis. Burung-burung dara itu sudah biasa dengan jatah mereka, mulai terbang lagi.

Charlie lalu membuka bungkusan sandwich-nya.

“Apa lunch-mu hari ini, Charlie?”

“Aku mendapat sandwich salad ikan tongkol. Dan kau?”

“Aku membawa sandwich salad daging kalkun.”

“Mmmm, Kalkun. Rasanya, sudah seabad aku tidak makan kalkun.”

“Aku juga sudah lama tidak makan tongkol. Begini saja Charlie, kau kasih aku separo dari tongkolmu. Aku kasih kau kalkunku. Setuju?”

“Oh, setuju sekali. Kau anak yang manis, Martha.”

Dan Martha tersenyum manis sekali mendengar itu.

Waktu jam sudah menunjukkan angka hampir setengah tiga, Charlie dan Martha berciuman dan berjanji untuk bertemu lagi esok harinya, untuk bersama-sama memberi makan burung dara.

* * *

Hawa terasa panas waktu Charlie masuk rumah.

“Kaukah itu, Pak?”

“Ya, Mary.” Dan Charlie menemui Mary di dapur.

“Segelas bir, Pak? Kau kelihatan haus sekali.”

“Ya, tepat sekali. Bir.”

“Aku juga ada semangka. Maukah seiris?”

“Ya, tepat sekali. Semangka.”

Mary tersenyum melihat mertuanya mulai makan semangka. Airnya berlelehan di mulutnya.

“Dari mana saja hari ini, Pak?”

“Oh, dari perpustakaan, baca-baca. Lalu ke Washington Square ketemu kawan-kawan lama. Kami berdebat tentang politik.”

“Oh, ya? Apa yang terjadi di dunia sekarang?”

“Oh, keadaan genting, Mary. Genting.”

“Genting?”

“Ya, Presiden Eisenhower mungkin akan memaklumkan perang kepada Stalin hari-hari ini.”

“Tapi, Pak. Eisenhower bukan lagi presiden. Dan Stalin sudah beberapa tahun mati, Pak.”

“Aaaahh, kau anak perempuan ingusan tahu apa tentang politik. Kau kan pergimu cuma ke laundromat dan supermarket tiap hari. Aku saban hari melihat dunia. Jangan kau coba sangkal aku lagi.”

Mary mengangguk-anggukkan kepala.

“Ah, ya, tentulah aku khilaf lagi. Jadi sebentar lagi akan ada perang, Pak?”

“Belum tentu. Ini tergantung kepada Stalin. Kalau Stalin tidak berani menerima tantangan Eisenhower, bagaimana bisa terjadi perang?”

“Ah, betul juga. Lagi, Pak, semangkanya?”

“Boleh. Tapi sedikit saja. Habis semangka ini aku mau tidur sebentar.”

Waktu semangka itu sudah habis, Charlie pun pergi ke kamarnya. Sebelum masuk kamar tidak lupa Charlie berpesan agar dia dibangunkan lima menit sebelum Amos dan Andy keluar di TV. Pintu kamar ditutup dan satu siang yang sibuk sudah berlalu buat Charlie.

* * *

Diketik ulang dari buku kumpulan cerita pendek Umar Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan (Pustaka Jaya, cetakan pertama 1972). Gambar ilustrasi dicomot dari sini.

You Are What You Eat

$
0
0

mangan_ora_mangan

.
I’m not vegetarian because I love animals. I’m vegetarian because I hate plants.
—A. Whitney Brown, “Saturday Night Live” cast member, Season 11-16, 1985-1991.

Saya punya banyak teman vegetarian, tapi saya tidak punya satu pun teman kanibal. Hannibal Lecter cuma hidup di dunia rekaan Hollywood, dan saya juga tidak kenal Sumanto dari Purbalingga—sebagaimana saya berharap dia juga tidak kenal saya. Hmm, apa hubungannya vegetarian dengan kanibal? Jawabannya: mungkin memang tidak ada. Saya cuma tiba-tiba ingat, ada teman saya, seorang perempuan vegetarian yang mengaku moviefreak sejati, pernah membuat review film Korea berjudul 301, 302 (Cheol-su Park, 1995) dengan penuh semangat. Dan kebetulan, film itu tentang kanibal. Oops, spoiler. Saya sendiri juga suka film itu, sebuah drama tentang kesepian dan dendam, yang disajikan dengan sinematografi yang indah, dramatik, dan terus terang bikin saya lapar. Haa!

Saya juga ingat sebuah buku bagus terbitan tahun 1992, berjudul Cut! Horror Writers on Horror Film. Di buku itu, salah seorang kontributor, penulis fiksi horor, mengaku menyukai film kanibal padahal dia seorang vegetarian. Kathryn Ptacek, demikian nama perempuan penulis itu, mengaku doyan film dengan tayangan sadis itu tanpa harus tahu kenapa. Artinya: dia nonton, ya karena pengen nonton aja. Dia membahas dengan cukup bagus film Motel Hell (Kevin Connor, USA, 1980). Film horor kanibal ini tidak begitu terkenal di sini, tapi pernah diputar di sebuah bioskop kelas kambing di kota saya—sekarang bioskop itu sudah tidak ada, menjelma jadi gedung pertokoan. Saking gak ngetopnya film itu, pernah jumlah penonton di bioskop itu cuma 5 orang. Salah satunya saya, duduk di barisan tengah, masih bercelana pendek waktu itu. Empat lainnya? Dua pasang muda-mudi, mojok di kursi belakang, yang pasti tidak terlalu peduli dengan film yang diputar, sebab mereka sedang sibuk membuat ‘film’ sendiri.

Meski ada dua film yang sedang diputar bersamaan—satu di layar, satu di kursi penonton—saya berusaha konsentrasi menatap ke depan. Premis film ini cukup menarik. Settingnya di sebuah penginapan bernama Motel Hello. Papan nama hotel itu, sebuah plang dengan cahaya neon, selalu kerlap-kerlip di huruf “o”-nya, sehingga lebih sering tampak terbaca “Motel Hell”. Dan sebagaimana hell, penginapan ini memang keparat. Pemiliknya, seorang lelaki aneh bernama Vincent, menjalankan bisnis motel yang terkenal dengan sajian daging asapnya yang teramat lezat. Sebagai film kanibal, tentulah bisa ditebak: yeah, daging asap itu ternyata terbuat dari daging manusia. Stok dagingnya, dari pengendara mobil yang lewat di depan motelnya. Vincent selalu menjebak mereka dengan memasang paku di jalan. Dan Vincent bukan seorang tukang tambal ban: dia malah menangkap si pengendara mobil, menghajarnya, lalu menyeretnya ke kebun.

Berikutnya adalah aksi yang sadis dan ‘sakit’. Vincent mengubur hidup-hidup para korban, dengan kepala dibiarkan nongol di permukaan tanah. Supaya tidak bisa menjerit, Vincent menggorok dan mengambil pita suara mereka. Hasilnya, sajian visual yang mengerikan: kepala-kepala di tanah dengan mulut yang komat kamit terbuka, tapi tak keluar suara. Lalu Vincent menentukan nasib mereka selanjutnya: menjadi bahan daging asap yang lezat, sajian khas Motel Hell.

Keparat. Film itu benar-benar keparat. Di tengah kegelapan, saya seringkali menjerit tertahan, menatap adegan demi adegan sadis di layar—sementara di belakang sana, dua pasang muda mudi itu juga menjerit tertahan, mungkin atas alasan yang berbeda: saya karena ketakutan, mereka karena keenakan. Keparaaat. Kanibal juga dong ya mereka, karena manusia ‘memakan’ manusia. Haha. Saya keluar dari bioskop sambil misuh-misuh. Di jalan pulang, saya memikirkan satu kalimat di film itu, yakni ketika Vincent mencari pembenaran aksi kanibalisme-nya dengan berkata, “There’s too many people in the world and not enough food. Now this takes care of both problems at the same time.” Oh, well.

Beranjak dewasa, pura-puranya demi menghormati kenangan menonton semasa kecil, saya mulai berburu film Motel Hell itu, berharap menemukan DVD-nya, atau VHS, atau LaserDisc, apapun! Tapi rupanya tidak mudah. Bertahun-tahun saya mencari, hasilnya nihil. Saya malah menemukan film-film tentang kanibal lainnya. Di rak koleksi film saya, tepatnya di deretan DVD berlabel “films about food”, berjajar judul-judul seperti: Cannibal Holocaust (Ruggero Deodato, 1980—film kanibal “klasik” yang sampai sekarang belum pernah selesai saya tonton saking jijiknya), Silence of the Lambs (Jonathan Demme, 1991; ya, ya, yang pertama saja, sebab sekuel dan prekuelnya nggak oke), Delicatessen (Marc Caro & Jean-Pierre Jeunet, France, 1991; film kanibal yang dibuat oleh orang yang juga membuat film manis Amélie!), Cannibal Ferox (aka Make Them Die Slowly, Umberto Lenzy, Italy, 1981; iklan promosi untuk film ini berbunyi ‘Banned in 31 countries!’—meski murni fiksi, film ini masih saja dilarang di Inggris), Ravenous (Antonia Bird, 1999; kritikus Ebert menyebutnya sebagai resep film vampir dan kanibal yang disajikan dengan saus baru… oh, owkay), dsb, dll, dst, etc. Terlalu panjang untuk disebutkan semuanya di sini. Oya, tentu saja termasuk karya anak negeri: Kanibal Sumanto (Christ Helweldery, Indonesia, 2004). Sementara DVD Motel Hell sendiri malah belum berhasil saya dapatkan. Ada yang kepikiran untuk membantu berburu dan menghadiahkannya ke saya? Ulang tahun saya masih bulan Juni ntar kok, dan saya suka kejutan.

Ngomong-ngomong soal kanibal, saya punya satu orang teman yang juga antusias tentang hal sama. Dia selalu bersemangat menceritakan pengalamannya Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa terpencil di kaki gunung. Menurut kabar angin yang berhembus, warga desa terpencil itu masih kanibal. Atas nama rasa ingin tahu yang mendalam (sekaligus bayangan muluk-muluk sebuah skripsi dahsyat tentang riset sosiologis atas fenomena kanibalisme di era modern), dia memutuskan untuk KKN di desa itu.

Setibanya di sana, teman saya itu langsung menemui Kepala Desa. Setelah memperkenalkan diri dan berbasa-basi secukupnya, dia langsung bertanya ke inti masalah, “Pak, ehmm, denger-denger katanya warga desa sini masih kanibal ya?” Pak Kepala Desa menjawab dengan tersenyum, “Wah, dari mana Adek dapat informasi seperti itu?” Teman saya menjawab “Oh, dari… ehmm, dari internet , Pak!” sambil tak yakin apakah Pak Kepala Desa itu tahu internet. Pak Kepala Desa masih tersenyum ketika melanjutkan, “Jadi gini Dek. Kebetulan, sampai minggu lalu memang masih ada satu orang kanibal di desa ini. Tapi sekarang sudah nggak ada lagi.” Teman saya tentu kecewa, tapi dia masih menyempatkan diri bertanya, “Sampai minggu lalu? Emangnya sekarang si orang itu ada di mana, Pak?” Pak Kepala Desa menjawab, “Sudah mati Dek, kemarin kami makan rame-rame.”

[Budi Warsito]


[Cerpen Favorit] Sahabat Saya Cordiaz

$
0
0

.
(cerita pendek oleh Asrul Sani)


Cerita ini mulai sebulan yang lalu, yaitu waktu saya memperoleh sebuah kamar baru. Kamar itu baik. Agak besar, cukup luas untuk tempat tidur dan rak-rak buku saya. Hawanya pun baik. Kalau hari siang ia amat panas dan kalau hari malam ia amat dingin. Sekiranya angin tidak ada, terbau bau tengik yang mesti saya atasi dengan bau obat nyamuk. Selain dari itu, ada lagi tikus. Tikus-tikus ini berusaha untuk hidup dan untuk dapat beranak-bercucu. Jadi mereka tidak lebih dari kaum proletar. Saya juga seorang proletar. Dan karena proletar seluruh dunia harus bersatu, maka akan dapatlah kami sekiranya hidup rukun dalam kamar itu. Tetapi kawan-kawan serikat saya ini, suka berpesta. Kalau kegembiraan mereka sudah naik marak, maka dimakannya buku-buku saya. Sehingga tak mengherankan, jika saya pagi-pagi harus menemui de Maupassant tak berkepala atau Dos Passos tak berpunggung.

Suatu hari datang seorang anak muda bersepatu putih, bertopi hitam, bajunya belang-belang dan ia memperkenalkan diri kepada saya sebagai: C. Darla. Ia tidak mengatakan apakah ia seorang Indo-Spanyol, atau Manila ataupun orang Indonesia yang berasal dari pulau Enggano (saya mendengar kabar, bahwa orang-orang Enggano masih memakai nama-nama Spanyol). Ia beroleh kamar yang letaknya lebih dekat ke kamar mandi. Bahasa Indonesianya langgam-langgam Singapura bercampur bahasa Inggeris sedikit-sedikit. Demikian ia bercerita tentang “British nébi yang léndid di Singapure.” Saya tertarik kepadanya, karena ia pandai berbicara tentang macam-macam pengalaman yan didapatnya di Singapura. Tentang bajingan-bajingan, “geng” katanya, tentang kaum komunis dan sebagainya. Waktu ia menyusun buku-bukunya, diberikannya buku “Atlantic Charter” kepada saya. Saya makin kagum. Tetapi kemudian hari dikatakannya, bahwa buku roman yang sebagus-bagusnya, ialah buku “Elang Mas” karangan Jusuf Sou’yb. Segera hilang kagum saya. Sungguhpun demikian kami tetap bersahabat.

Pergaulan kami amat rapat, sehingga banyaklah yang berkecil-kecil yang diceritakannya kepada saya. Ia menceritakan, bahwa ia mempunyai darah Spanyol, tetapi ia telah lama tinggal di Indonesia. Sebelum ia datang ke mari, ia berdiam di Singapura. Kedatangannya ke Jakarta membawa kisah sedih. Ia harus meninggalkan kekasihnya seorang gadis Pilipina di Singapura. Sesudah menceritakan itu ia mengetik ucapan-ucapan pernyataan-cinta dalam bahasa Inggeris yang tunggang-balik, lalu ditinggalkan di kamar saya. Tentang pekerjaannya ia tidak pernah berbicara. Hanya ia berangkat pukul 9 dari rumah dan pukul 1 telah ada pula. Tetapi rupanya pekerjaannya amat banyak, sehingga setiap sore ia meminjam mesin ketik, lalu mengetik terus-menerus. Sesudah itu lalu dibakarnya segala kertas yang diketiknya tadi. Lalu ia bersungut-sungut. Kemudian ia datang kepada saya untuk mengatakan, bahwa mesin ketik saya kurang “enak”. Kalau boleh ia hendak membawanya ke bengkel supaya diminyaki. Ini saya izinkan. Lalu ia hendak membelikan saya pita mesin ketik yang berwarna merah-hitam. Itupun saya setujui dengan hati yang tulus-ikhlas. Demikian ia melakukan perbuatan-perbuatan yang ganjil-ganjil dan yang penuh simbolik, sehingga menarik perhatian segala isi rumah. Ia menjadi pusat perhatian. Entah memang itu maksudnya, saya tidak tahu. Tetapi ia berhasil benar, sehingga tiada lagi orang yang menghiraukan keluhan-keluhan saya setiap pagi tentang pengarang anu yang kehilangan kepala atau yang kehabisan punggung ataupun yang pecah-pecah kulit. Demikian saya tinggal dengan teman-teman serikat saya yang menjadi musuh saya dan saya C. Darla yang mengalahkan saya.

Pernah Darla bertanya tentang cinta kepada saya, dan apakah telah banyak pengalaman saya tentang hal ini. Rupanya sangat tertarik benar hatinya akan pokok percakapan ini, sehingga kadang-kadang samoai sekerat malam kami bercakap-cakap. Katanya, ia masih muda, masih ingin melihat dunia dan belum mau kawin. Tetapi ia sekarang sedang tersangkut pada suatu perkara yang sulit. Perkara itu, ialah perkara kasih-sayang juga.

Sekali ia pulang membawa sebuah gelang rantai perak, seperti yang biasa saya lihat dipakai oleh serdadu-serdadu India atau Australia. Gelang itu diperlihatkannya kepada saya. Di sana tertulis: Cordiaz Darla. Jadi sahabat saya itu ialah: Cordiaz. Bukan nama Indonesia. Saya tidak tahu berbahasa Spanyol, tetapi kalau mendengar-dengar bunyinya, ada juga mengarah-arah sedikit. Sama enak kedengarannya, seperti perkataan Ortega dalam buku Ortega y Gasset dan perkataan Fernando dalam nama Fernando Poe. Percakapan kami malam itu dimulainya dengan ketawa besar. Sesudah itu ia berbicara tentan Arni. Saya tidak kenal Arni. Katanya, Arni, ialah “bekas” kekasihnya, dan sekarang gadis itu sudah kurus kering, karena ia tidak pernah datang lagi ke rumahnya. “Tidak ada orang yang dapat menggantikan saya,” katanya. “Huh!! Awak kire awak punya negeri! Ayahnya mesti datang kepada saya, minta ampun, baru saya datang ke sana. Ia mesti mendapat ajaran sedikit.”

“Jadi, menang lagi?” tanya saya.

“Siapa bilang kalah,” katanya.

Saya ikut tertawa karena sahabat saya menang. Tapi, Arni panjang umurnya di rumah kami, karena sahabat saya itu, mempercakapkan Arni saja kerjanya. “Ia tidak dapat bercerai dengan saya. Hatinya hancur luluh,” katanya. “Semua salah bapaknya. Sekarang anaknya makan hati.” Ia makin hari makin tidak senang diam. Surat-surat yang diketiknya makin lama makin banyak. Tetapi sebanyak itu yang diketiknya, sebanyak itu pula yang dibakarnya. Kalau ia tidak menyeterika celananya, ia mengetik, kalau ia tidak mengetik, ia ke luar rumah. Perginya terburu-buru. Tetapi secepat itu perginya, selekas itu pula kembalinya. Kalau sedang makan ia bercerita tentang saya-kasihan-sama-Arni.

Suatu malam ia pulang bergegas-gegas. Terus ke kamar saya.

“Ia mencari dukun,” katanya. “Saya mau diberi guna-guna. Bangsat! Saya juga ada dukun.”

Entah dari mana ia mendapat kemauan untuk pergi kepada dukun, entah dari ibunya, entah dari neneknya orang Spanyol, saya tidak tahu. Pendeknya—ia pergi kepada dukun. Sore-sore itu ia mengirim surat dan suatu bungkusan kepada Arni. Surat dan bungkusan itu kembali malam itu juga. Sesudah menerima itu, rupanya runtuh segala pasak-pasak tubuhnya. Dengan terbungkuk-bungkuk ia masuk ke kamarnya, lalu dikuncinya pintu erat-erat. Esok harinya, waktu saya kembali dari berjalan-jalan, saya lihat kopornya tidak ada lagi. Di atas meja saya ada surat. Di dalamnya tertulis: “Saya tidak tahan lagi tinggal di sini. Rumah ini terlampau ribut buat saya.” Kasihan! Rupanya banyak juga tikus-tikus dalam kamarnya. Dan kawan-kawan serikat saya ini rupanya bertindak sebagai kaum kapitalis, sehingga sahabat saya yang sama proletarnya dengan saya, tidak dapat bersatu dengan mereka—lalu pergi.

Sangka saya selesailah riwayat Cordiaz Darla. Tetapi minggu yang lampau saya mendengar kabar, bahwa ia telah kawin dengan seorang janda yang beranak lima. Saya pergi ke rumahnya. Agak merumuk ia sedikit waktu saya temui. Saya tanyakan bagaimana mereka kawin. “Bagaimana orang Indonesia kawin,” kata istrinya. Perempuan ini peramah betul dan ia lebih berpengalaman dari Darla, sehingga tak dibiarkannya Darla banyak cakap. Ia memperlihatkan surat kawin mereka kepada saya. Saya baca di sana nama: Chaidir Darla, jadi huruf C itu tidak berarti Cordiaz. Namanya memang Chaidir, karena istrinya memanggil, “Dir, Dir!” Jadi ia bukan orang Spanyol atau Pilipina. Waktu saya mau pergi saya katakan kepada Darla, bahwa saya ikut berbesar hati. Saya berjanji akan mendoa-doakan supaya mereka lebih banyak mendapat anak. “Ingat,” kata saya, “Orang tua-tua bilang: banyak anak, banyak padi!” Istrinya tersenyum berseri-seri.

Dua hari yang lalu saya menerima surat dari Darla. Dalam surat itu tertulis: “Saya tidak tahan lagi tinggal di sini. Tolonglah saya!”

Saya maklum sudah. Bagaimana ia akan tahan, kalau hatinya keras untuk jadi orang Spanyol atau orang Pilipina, sedang orang menganggap dia orang Indonesia. Lagi pula apalah salahnya. Bangsa saya banyak sudah yang menjadi orang Belanda, mengapa pula tidak akan diberi kesempatan kepadanya untuk menjadi orang Spanyol. Orang Indonesia belum banyak yang jadi orang Spanyol. Sebab itu saya kirimkan uang 50 rupiah dan saya tulis pada surat pengantarnya: “Untuk ongkos menjadi orang Spanyol.” Surat ini tidak berbalas. Menurut kira-kira saya sudah berhasil kehendaknya.

Tapi tadi pagi, saya lewat bersepeda di depan rumah Darla. Kebetulan saya bertemu dengan bujang perempuannya, lalu saya tanyakan kalau-kalau ia tahu tentang amplop berisi uang yang saya kirimkan.

“Ya, saya sendiri yang kasih sama nyonya,” jawabnya.

“Sama nyonya? Jadi…?”

“Nyonya terus beli kebaya baru.”

“O, bagus, bagus.” (Hati saya berkata, celaka tiga belas).

“Tuan sekarang di mana?”

“Katanya, kerja di bagian distribusi. Masuk dulu tuan!”

“Ndak, ndak. Lain kali saja.”

Saya pergi.

Ah, kandas. Tragis betul. Belum juga rupanya sampai cita-cita Darla untuk bernama: Cordiaz Darla. Tetapi tidak apa, siapa tahu ia besok menjadi orang Jerman atau orang Amerika.

* * *

Diketik ulang dari buku kumpulan cerita pendek Asrul Sani, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat (Pustaka Jaya, cetakan pertama 1972). Asrul Sani juga menulis beberapa naskah film Indonesia yang kemudian menjadi klasik. Salah satu di antaranya adalah, yang juga dia sutradarai, film Indonesia dengan judul paling magis sepanjang sejarah perfilman nasional: Apa jang Kau Tjari, Palupi? (1969).

Why Brazil, someone once said

$
0
0

ButtleTuttle!

.

“return i will
to old brazil”

yeah it simply started with a book and a movie, i mean i heart orwell’s 1984 and i saw gilliam’s brazil like years ago, what a hunk!, and still i’m amazed how the director delivers the romantic flight of dark imagination scored with that latin-flavored title tune which kills me again and again; softly for sure, you know, those blah blah blah cheesy words in the first lines (Geoff did it the best, IMHO, with the intro and the whistling-like sound), ‘june‘, ‘ambermoon‘, ‘someday soon‘, rhyming never gets tiring, huh?, suddenly “then tomorrow was another day” (!), and finally “return, i will, to old Brazil“—should i say, the Past? or is it the Future? with sam lowry, you’ll never know.

[MP3s]
Kate Bush – “Brazil” – Brazil OST
Geoff & Maria Muldaur – “Brazil” – Pottery Pie
Arcade Fire – “Brazil” – Rebellion (Lies)
Beirut – “Brazil” – Live at KLRU Studios
Antonio Carlos Jobim – “Brazil” – Aquarela Do Brasil

[Cerpen Favorit] Kandang Babi, Rendez-Vous

$
0
0

.
(cerita pendek oleh Eka Kurniawan)


Edi Idiot menjaga kampus siang dan malam, tapi ia bukan satpam. Terutama kalau malam, ia adalah raja yang berkuasa di kegelapan pohon-pohon rindang, tapi sungguh, ia bukan jin Iprit. Ia seperti kita juga: suka makan, beol, bercerita, berteriak menyanyikan Obladi Oblada, atau jika ia sedang tidak bersemangat, ia akan duduk manis menatap jauh pada segerombolan gadis yang tengah duduk berkerumun: berharap satu atau dua orang tersingkap roknya.

Ia tinggal di satu sudut fakultas yang nyaman—senyaman kandang babi. Dulu ruangan itu dipakai untuk mengoperasikan mesin stensil yang belakangan tergusur setelah penemuan teknologi komputer yang edan-edanan. Kematian mesin stensil adalah berkat bagi Edi Idiot yang berharap menghemat banyak dengan pondokan gratis. Di sanalah ia tidur kalau ngantuk, bercinta kalau punya kekasih, atau mencoba bunuh diri kalau sedang gila.

Empat tahun telah berlalu, dan itu membuatnya betah tetap tinggal di kandang babinya; istananya yang paling hebat. Tak ada Induk Semang yang Bengis yang siap monyong dan melotot jika ia membawa gadis cantik ke dalam kamarnya (kemudian pintunya dikunci dan mereka berdua menabung bekal untuk di neraka). Juga tak ada Induk Semang yang Serakah yang akan menagih uang pondokan (atau uang listrik, atau uang iuran penyemprotan nyamuk deman berdarah, atau juga sedikit sumbangan untuk langganan koran). Tapi yang lebih hebat dari semua itu adalah fakta bahwa tak ada Induk Semang yang Cerewet yang akan melarang dia membuat keributan macam apa pun bersama sahabat-sahabatnya tercinta.

Hobinya memang membuat keributan yang tak termaafkan induk semang mana pun. Bernyanyi keras-keras diiringi petikan gitar yang sebenarnya tak pernah nyambung. Atau membacakan puisi-puisi cinta yang memilukan hati. Atau lain kali ia mengundang beberapa temannya sesama nomaden (mereka juga tinggal di kandang-kandang babi, atau ada juga yang di kandang ayam, kandang anjing, atau kandang dedemit, yang tersebar hampir di setiap sudut universitas) untuk sekedar beranjangsana ke pondokannya yang, “Aih, maaf, agak berantakan. Maklum pembantu sedang mudik.” Berkumpul merupakan saat-saat yang paling indah baginya. Dengan sedikit mabok karena arak putih yang dijual murah di pinggir jalan, mereka membicarakan kebusukan Hegel dan Heidegger sebebas membicarakan kebusukan artis-artis porno. Mereka adalah orang-orang kreatif yang tak pernah membaca Voltaire atau Cervantes namun memunculkan istilah-istilah inovatif melebihi sastrawan manapun: “Mesin Penjilat Bibir” untuk pelacur, dan “Pipis Enak” untuk suatu kondisi yang disebut ejakulasi pada puncak orgasme.

Dialah Edi Idiot. Menyelesaikan sekolah dasar selama sembilan tahun, sekolah menengah pertama empat tahun, dan sekolah menengah atas selama lima tahun; hanya Tuhan yang tahu bagaimana orang yang menurut sistem pendidikan nasional dibilang goblok ini bisa masuk universitas. Itulah mengapa ia mendapat gelar idiot, semakin terlihat idiot ketika ia kuliah di filsafat dan tak tahu tanggal berapa Aristoteles lahir! Namun di atas semuanya, ia sahabat yang menyenangkan: tak pernah malu pinjam uang, matanya melotot jika bicara dengan seorang gadis yang kebetulan kancing kemejanya sedikit terbuka, dan tidur di ruang kuliah (ia baik karena tidak mengganggu sang dosen menjual omongan yang selalu diulang di setiap semester, bukan?). Ia mudah dikenali dari pandangan pertama: pakaian yang ia kenakan adalah empat pasang jeans dan kemeja yang merupakan serangkaian siklus empat mingguan, karena itu selalu tampak kucel dan jorok kecuali di dua hari minggu pertama. Rambutnya merupakan satu hal yang jauh lebih mudah dikenali; panjang dengan model rasta seperti Bob Marley yang dibuat bukan dengan pergi ke salon, atau resep mandi dengan air laut, atau apalagi dengan beragam ramuan yang tak meyakinkan, namun sungguh-sungguh menjadi rasta karena ia belum keramas selama delapan bulan satu minggu tiga hari! Jangan tanya berapa batalion kutu di kepalanya…

*

Malam hari merupakan saat-saat yang paling merdeka buatnya. Ia bisa pergi nonton konser lalu pulang menjelang dini hari. Atau kalau tak ada hiburan di mana pun di segenap pelosok kota, ia dan para sahabatnya menghibur diri sendiri dengan judi kiu-kiu menggunakan kartu domino. Awalnya mereka bertaruh dengan duit receh, namun jika kebangkrutan sudah menghantam, kekasih-kekasih khayalan mulai jadi taruhan. Edi Idiot doyan mempertaruhkan Ayu Azhari, namun jika ia kalah ia dilarang mengaku sebagai kekasih Ayu Azhari selama seminggu ke depan… kenyataan tragis bagi laki-laki yang justru seringkali tak memiliki kekasih yang sesungguhnya.

Namun jika ia sedang baik hati, ia akan mengingatkan dirinya sendiri, “Edi, sudah jam sembilan malam. Waktunya tidur.”

Ia segera akan membereskan kandang babinya. Ketiga jeans dan ketiga kemejanya yang tidak sedang dipakai ia gantungkan di paku-paku yang menancap di dinding. Kemudian ia membersihkan tikar, menggebukinya dengan sebatang tongkat pendek untuk mengusir debu dan kecoa, sebelum dihamparkan di pojok kandang babi itu. Bantalnya sudah sangat lembek sekali, ia temukan dahulu kala di kantor senat mahasiswa, sempat jadi rebutan dengan seorang temannya yang kini tinggal di gudang lain tak jauh dari kandang babi mantan gudang stensilnya, namun ia menangkan setelah bertaruh siapa yang berani masuk ke ruang dosen di pagi hari sebelum cuci muka. Sementara itu selimutnya merupakan hadiah istimewa dari kekasihnya di semester kedua; berwarna coklat muda dan ketebalannya cukup menghangatkan di musim dingin yang sangat ekstrim; suatu penghibur jika ia mengenang bagaimana cintanya diputuskan oleh gadis tersebut padahal demi Tuhan bahwa gadis itu jeleknya minta ampun—tak lebih cantik dari lubang kloset.

Jika semua ritual itu sudah ia laksanakan, ia akan berbaring perlahan di atas tikar tersebut. Sejenak ia merenung-renung dan berkata pada diri sendiri:

“Kau kan mahasiswa, sebaiknya membaca satu atau dua menit sebelum tidur.”

Maka ia mengambil satu-satunya buku yang ada di kandang babi itu, tergeletak di meja kecil tak jauh dari tempat di mana ia berbaring. Buku itu adalah buku tulis, sudah lecek karena nyaris seumur ia kuliah hanya itulah buku andalannya. Sambil tiduran, ia membuka dan membaca catatannya:

“Nasi sayur satu, tempe dua, teh hangat; kopi dan bakwan dua; nasi pecel satu tambah telur satu dan es teh; nasi sayur tambah tempe satu dan tahu satu dan jeruk hangat; nasi sayur satu tambah tempe dua dan kerupuk dua tambah es jeruk; nasi pecel satu, perkedel dua dan kerupuk satu tambah es teh…” Itu adalah catatan hutangnya pada bu Kantin yang Gendut di Kantin yang Jorok. Ia akan melanjutkan sebelum benar-benar tidur: “Belum mengkhawatirkan, pasti bisa aku lunasi.”

Maka tidurlah ia dengan damai, tanpa perlu didongengi dengan cerita Lutung Kasarung atau Bawang Putih dan Bawang Merah. Ia tak punya jam weker yang akan menjerit membangunkannya di pagi hari. Ia pun tak pernah merasakan kehangatan sinar matahari pagi menghantam tubuhnya yang tidur karena jendela kandang babinya selalu tertutup. Maka satu-satunya tanda bahwa ia harus bangun adalah keributan mahasiswa dan dosen; saat itu biasanya sudah pukul tujuh pagi.

Ia akan menggeliat-geliat sebentar, lalu bangun dan membuka pintu. Pak Dekan baru keluar dari mobil, Edi Idiot tersenyum ramah, dan pak Dekan membalasnya dengan muka masam. Lalu muncul si Cantik adik kelas, Edi Idiot tersenyum juga, dan si Cantik ngibrit. Ia tak pernah sakit hati. Ia dengan santai menuju kran air dan cuci muka, dan dengan langkah seorang pemalas bergerak menuju Kantin yang Jorok untuk memesan kopi dan nongkrong habis sampai siang hari.

Banyak desas-desus dan omong-kosong bisa didapatkan di Kantin yang Jorok: misalnya siapa yang paling bertanggung jawab atas perut bunting Nurul?, atau laki-laki tua berkumis baplang yang manakah yang ternyata intel dan sedang memantau mahasiswa-mahasiswa yang membahayakan keselamatan negara?, atau manakah yang perlu dibela: apakah orang Timor hitam yang pro Indonesia atau orang Timor hitam yang lebih suka merdeka (namun jelas mereka tak akan membela minoritas keturunan Portugis yang berkuasa)?, namun di atas tema-tema berat macam begitu, hanya satu yang bisa membuat mahasiswa-mahasiswa nomaden heboh:

“Konon, rektorat akan melarang kita tidur lagi di kampus.”

Edi Idiot bahkan sukses semaput di belakang pantat bu Kantin yang Gendut.

*

Hal itu benar-benar terjadi di suatu hari. Edi Idiot pulang pada suatu senja dari sedikit pengembaraan yang agak melelahkan. Ia mendapati kandang babinya terkunci, dan semua barangnya teronggok di atas kursi reyot di depan gudang tersebut. Ia panik dan melesat ke ruang satpam penjaga gedung.

“Si-siapa yang mengunci gudang?” tanyanya, antara marah dan ngeri.

“Mana aku tahu,” kata pak satpam. “Konon mau dijadikan dapur kantin ibu darmawanita.”

“Anjing-anjing itu?”

“Siapa yang anjing?”

“Ya babi-babi itu.”

Apa pun yang terjadi, pak satpam jelas tak bisa mengembalikan istana hebat itu kepadanya. Edi Idiot berjalan gontai kembali ke kandang yang terkunci, mengumpulkan barang-barangnya. Ia memasukkan bantal lepetnya ke dalam tas gendong yang sudah dekil; juga ketiga pasang jeans dan kemeja kesayangannya. Tikar ia gulung dan simpan di tiang penopang langit-langit, kapan-kapan ia ambil. Lalu meja kecil… ah, biarkan saja di situ, siapa tahu ada kemungkinan kembali berkuasa di kandang babi. Terakhir ia melipat selimut kenangannya dan mengapitnya di ketiak.

Dan, lalu?

Ia berdiri bengong di gerbang fakultas. Ia tak tahu harus ngeloyor ke mana. Ia tak punya pondokan selama empat tahun ini, dan lebih parah dari segalanya, ia tak punya uang untuk menyewa pondokan baru. Kakinya kemudian membawa dia menuju ke gelanggang mahasiswa, tempat di mana lebih banyak mahasiswa nomaden memanfaatkan ruangan-ruangan yang tak terpakai di malam hari. Tapi yang ia temukan hanyalah pintu-pintu yang terkunci, dan gerombolan mahasiswa terusir yang putus asa. Satu-dua anak mencoba memprovokasi untuk membuat sedikit pemberontakan pada keadaan yang sungguh tak adil, namun yang lainnya begitu lelah dan ngantuk—dan kehilangan motivasi—sehingga tak merespon dengan baik. Dan Edi Idiot, jelas ia lebih suka segera berlalu untuk menemukan satu tempat tidur yang nyaman di malam ini.

Ia berkeliling dari satu gedung ke gedung lain di segenap pelosok universitas. Ia memang menemukan teman-teman malamnya, sama-sama kehilangan harapan, namun tak menemukan ruangan yang layak untuk tempat tidur. Sampai ketika tengah malam datang, ia tersasar di gedung rektorat dan menemukan satu pos satpam kosong di sebelah utara. Yeah, bukan kandang babi memang, pikirnya; kandang monyet pun tak apalah!

Maka tidurlah ia di sana ditemani hantu wanita yang bunuh diri, dedemit, sundel bolong, dan semua makhluk horor lainnya. Namun semua keangkeran tempat tersebut tak mengganggu tidurnya sedikitpun. Ia lelap, selelap paku yang menempel di pintu. Namun di pagi hari, ia terbangun mendadak ketika seekor anjing kudisan mengendus-endus pantatnya. Anjing itu sama kagetnya, mundur sedikit, dan terkaing-kaing berlari ketika Edi Idiot menendangnya dengan penuh nafsu.

Ia sendiri kemudian terduduk, membiarkan cahaya matahari pagi memandikan tubuhnya. Nafasnya tersenggal-senggal, dan sambil memegang dada ia berbisik pelan:

“Oh Tuhan, terima kasih. Betapa mengerikan jika anjing sialan itu menyodomiku!”

Ia segera mencangklong tas punggungnya dan mengapit selimutnya, lalu berjalan pergi ke Kantin yang Jorok untuk mendapat segelas kopi sebagaimana biasa. Semua itu kemudian menjadi rutinitas barunya; tidur di kandang monyet ditemani makhluk-makluk horor, lalu terbangun dipermainkan anjing buduk pengendus. Selain itu pemandangan ini menjadi pemandangan umum di setiap pagi selama beberapa hari: seorang pemuda kurus kerempeng berambut rasta berjalan dari gedung rektorat ke Kantin yang Jorok sambil menggendong tas punggung berisi pakaian dan bantal dan di tangan kirinya mengapit selimut coklat muda. Dialah kawan kita si Edi Idiot yang karena nasib harus memerankan antagonis yang menyedihkan seperti itu.

Namun ternyata, bukan hanya orang-orang yang berpapasan dengannya saja yang kemudian merasa bersimpati dan kasihan; ia sendiri mulai mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ia mulai menghitung-hitung buruknya tidur di kandang monyet itu; dalam satu atau dua bulan ke depan bisa dipastikan ia terserang paru-paru basah yang akut. Selain itu, meskipun ia punya selimut tebal kenangan, udara dingin di kandang yang tak punya dinding itu bisa membuatnya terserang rematik; alasan kuat untuk menyongsong hari tua yang mengerikan. Ia juga mengkhawatirkan gangguan makhluk-makhluk horor itu lama-kelamaan memberi trauma buruk pada kejiwaannya. Tapi yang paling membuatnya cemas adalah kengeriannya pada kemungkinan terburuk ini: suatu pagi anjing buduk itu benar-benar berhasil menyodominya!

Sambil minum kopi di Kantin yang Jorok ia menghitung sisa uangnya: ada tiga ribu empat ratus perak. Ia mencoba memikirkan banyak cara bagaimana melipatgandakan uang sekecil itu agar bisa menyewa pondokan barang satu atau dua bulan saja. Namun jiwa kapitalistik tak sungguh-sungguh mampir di otaknya yang bebal; yang terpikirkan adalah mempertaruhkan uang itu di meja judi kiu-kiu. Ia segera menukar uangnya dengan recehan seratus perak pada bu Kantin yang Gendut, dan segera kembali ke fakultas mengumpulkan teman-teman perjudiannya. Permainan berlangsung alot di belakang kantin, di mana dosen-dosen yang sok usil ikut campur urusan orang lain tak akan melihat kelakukan biadab mereka. Di setengah jam pertama, Edi Idiot bisa mengumpulkan keuntungan enam ratus perak, namun ketika permainan berlangsung lebih lama, ia mulai kehilangan receh demi receh hingga temannya yang lebih jago judi benar-benar menghabiskan seluruh modalnya.

Edi Idiot masih penasaran dan menjerit:

“Jalan terus!”

“Kau bertaruh dengan apa?”

“Apa boleh buat, kutawarkan Ayu Azhari.”

“Mana bisa, tiga hari yang lalu Ayu Azhari sudah dipasang dan kau kalah.”

“Kalau begitu Sarah Azhari.”

“Ngawur, dia bukan kekasihmu.”

“Peduli amat.”

“Kau mulai curang. Ayo, bubar!”

“Tapi…”

Teman-temannya sudah bubar dan pergi ke segala penjuru. Tinggal Edi Idiot yang mulai putus asa memikirkan bagaimana caranya memperoleh uang untuk menyewa pondokan baru. Pondokan yang aman dari pelecehan seksual anjing kudisan.

*

Selama beberapa waktu ia mencoba mengamen di perempatan jalan, namun hasilnya jauh dari cukup untuk mencapai cita-citanya punya pondokan baru. Ia bahkan pernah tergoda untuk melakukan sedikit pencurian; namun nyali kecilnya ciut ketika membaca berita di koran yang menyebutkan seorang pencuri dibakar massa beramai-ramai. Hasilnya, Edi Idiot mulai tampak redup. Romannya yang riang dan seringkali menghibur sahabat-sahabatnya mulai tampak jauh lebih tua. Ia menjadi seorang perenung, tapi jelas bukan filsuf. Sering berdeklamasi seorang diri, namun jelas bukan penyair juga, mungkin hanya karena kegilaannya sedikit sedang kumat.

Ia juga mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk bunuh diri. Atau kadang terpikir untuk pulang ke kampung halaman, menyerah pada semua usahanya untuk jadi seorang sarjana yang dihormati. Namun semuanya tidak ia lakukan. Ia masih mencintai universitasnya, kotanya, dan juga para sahabatnya. Ia harus bisa bertahan, betapapun menyedihkannya hidup yang harus ia lakoni.

Kadang ia merasa betapa ruginya dia: hidup di dunia dalam keadaan buruk, dan kalau mati kemungkinan besar masuk neraka. Namun kemurungannya berubah seketika saat di suatu pagi, ketika ia sedang berjalan dari gedung rektorat menuju Kantin yang Jorok sambil menggendong tas punggung dan mengapit selimut pemberian mantan kekasihnya, ia bertemu seorang gadis di tengah jalan. Namanya Widy, sahabatnya satu angkatan namun nasib membuat jalan hidup keduanya berbeda. Widy sudah menyelesaikan kuliah dan sekarang bahkan sudah menjadi dosen di fakultasnya sendiri.

“Oh, Sahabatku, Widy, apa kabar?” Edi Idiot dengan muka yang ceria menghampirinya dan menjabat tangan.

Widy yang sedang dalam perjalanan ke kantor dosen menatapnya dengan prihatin. “Aduh, Edi, sudah berapa lama kau tidak mandi?”

“Ah, Sahabatku, jangan tanyakan soal itu. Ngomong-ngomong, kau jarang terlihat akhir-akhir ini?”

“Aku? Seandainya kau rajin masuk kuliah, setidaknya aku mengajar kau satu minggu sekali.”

“Aku jadi malu.”

“Kau tampaknya lapar, mau kutraktir?” tanya Widy.

“Demi Tuhan, aku menunggu tawaran seperti itu.”

Mereka kemudian mampir di Kantin yang Jorok sekedar melepas rindu sebagai dua sahabat yang lama tak berjumpa. Sarapan bersama sambil bicara mengenai banyak hal. Teman kita yang botak, si Agus, sekarang di mana? Aha, dia sudah kerja di Jakarta. Ya, betul, si Iwan sudah jadi wartawan, hebat betul dia. Dan Sinta, kudengar dia sudah kawin; punya anak tapi kemudian cerai, nasibnya agak malang. Aku tak tahu kalau soal Andi, katanya dia pergi ke Kalimantan; ya goblok sekali dia, kuliahnya ditinggal begitu saja, mungkin bisnis, tapi setahuku bisnis apapun dia selalu gagal. Dan kau? Masya Allah, hanya tinggal kau angkatan kita yang masih bertahan jadi mahasiswa?

Edi Idiot tersenyum dan bertanya:

“Dengar-dengar kau mau kawin?”

Widy tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja,” katanya. “Sekarang masih nabung-nabung buat rumah dan tetek-bengeknya.”

“Kupikir kau mau tunggu aku.”

“Sayang kau terlambat.”

Edi Idiot menyelesaikan sarapannya dengan perasaan puas, karena untuk pertama kali setelah beberapa waktu, ia boleh mengambil porsi makan sebanyak yang ia suka. “Tapi ngomong-ngomong,” katanya. “Kalau di hari perkawinan calon suamimu minggat, aku tak keberatan jadi pengganti.”

Widy tertawa dan menjawab, “Aku pertimbangkan.”

Mata Edi Idiot berbinar-binar menatap sahabatnya. Bukan, bukan karena harapan pada kemungkinan menjadi pengganti calon suami yang minggat, tapi karena ia menganggap saat inilah saat yang tepat untuk menyerang Widy dengan satu permintaan yang selama makan ia persiapkan:

“Sahabatku,” katanya pelan, takut terdengar penghuni Kantin yang Jorok yang lain. “Untuk sahabatmu yang malang dan mengibakan ini, maukah kau pinjami aku uang?”

“Kau pinjam uang?”

“Jangan keras-keras, Sayang… ya, itulah yang aku maksud.”

“Kau tidak dalam kesulitan besar, kan?”

Edi Idiot bercelingukan, lalu menatap sahabatnya lagi. Matanya sedikit berkaca-kaca (aduh, tak terkira dia agak cengeng juga). Lalu perlahan-lahan mengadu, “Kau tahu kan aku tinggal di kandang babi.”

“Kandang babi di fakultas peternakan?”

“Maksudku gudang bekas tempat mesin stensil.”

“Semua orang sudah tahu.”

“Tapi sekarang aku sudah tidak tinggal di sana.”

“Pantas saja aku jarang lihat kau.”

“Pihak universitas melarang kami tinggal di kampus lagi. Aku sekarang tinggal di kandang monyet, ditemani genderwo dan kuntilanak, serta dikeloni anjing kudisan.”

“Di mana pula itu?”

“Pos satpam dekat gedung rektorat.”

“Oh Tuhan, itu mengerikan, Sayang.”

“Ya, begitulah,” kata Edi Idiot. Dan dengan semangat ia mendramatisir, “Aku mulai menderita paru-paru basah, mungkin juga demam berdarah dan gagal jantung. Bahkan aku menduga aku sudah kehilangan satu ginjal. Aku khawatir lebih lama di sana bisa terkena AIDS juga.”

“Sebaiknya kau menyewa pondokan saja.”

Ini dia! Dengan sedikit menahan diri, Edi Idiot berbisik, “Itulah mengapa aku mau pinjam duit ke kau. Atau kalaupun kau tak punya duit, setidaknya kau sudi berbagi tempat tidur denganku.”

“Ah, aku lebih suka meminjami uang.”

“Itu pun tak apa.”

“Tapi aku cuma bawa seratus ribu perak.”

“Itu lebih dari cukup.”

Transaksi berjalan dengan diam-diam. Selama itu berlangsung, Edi Idiot beribu kali mengucapkan terima kasih. Kau memang sahabat sejati, Widy. Semoga kau tambah cantik selalu, katanya. Semoga kau cepat naik pangkat—kalau perlu jadi rektor yang berpihak pada mahasiswa-mahasiswa malang seperti dirinya. Semoga amal-ibadahnya diterima Tuhan, dan semoga kau tertarik menjadikan aku sebagai suamimu.

Widy hanya tersenyum dengan segala puja-puji itu, dan berkata bahwa ia harus segera masuk ruang kuliah untuk mengajar.

“Ya, ya, selamat jalan, Sahabatku!”

Widy berlalu dan Edi Idiot melambaikan tangannya dengan bahagia.

Kini ada uang seratus ribu di tangannya. Edi Idiot termenung-menung seorang diri di Kantin yang Jorok yang hiruk-pikuk itu. Yeah, cukup untuk menyewa kamar dua bulan, pikirnya. Mungkin tiga bulan, kalau mau mencari yang agak jauh dari kampus. Ia mulai mempertimbangkan hal-hal tersebut. Yeah, ia bakal punya Induk Semang yang Bengis, juga Induk Semang yang Rakus, dan tentunya Induk Semang yang Cerewet. Kecil kemungkinan memperoleh Induk Semang yang Pemurah.

Jika ia punya pondokan, ia tak boleh lagi berteriak sesuka hati di tengah malam. Juga pasti dilarang keras mabok. Lebih mengerikan kalau ada aturan harus pulang jam sembilan. Ngomong-ngomong, ia jadi ragu dan ngeri memikirkan harus punya rumah pondokan.

Namun bagaimana lagi? Sahabatnya yang baik itu sudah meminjami dia uang, dan duit tersebut kini tergenggam erat di tangannya. Dan lagi pula, adalah mengerikan terus-menerus tinggal di kandang monyet: ia bisa mati memalukan.

Ketika sedang memikirkan hal itu, matanya menatap bu Kantin yang Gendut. Ia sedang melayani seorang pembeli. “Satu atau separoh? Pakai sayur? Oh, pecel.” Kemudian pembeli yang lain. “Dengan apa? Nasi sayur tambah telur goreng, tempe dua dan es teh, dua ribu lima ratus. Terima kasih.” Edi Idiot tiba-tiba teringat sesuatu. Ia membuka tasnya dan menemukan buku catatan itu. Ketika bu Kantin yang Gendut sedang beristirahat tanpa gangguan satu pembeli pun, Edi Idiot menghampirinya.

“Ini hutangku,” kata Edi Idiot pelan-pelan dan malu-malu.

Bu Kantin yang Gendut menghitungnya, dan Edi Idiot kehilangan lebih dari separoh uang yang dipegangnya.

Namun ia bahagia sekali bisa melunasi hutang itu. Ia berjalan ke sana-ke mari sambil bersiul-siul. Lagu-lagu riang kembali muncul di mulutnya. Ia telah lupa pada rencana punya pondokan. Lalu apa yang telah merasuk di otaknya? Apakah ia memiliki suatu rencana yang gemilang. Begitulah. Di sore hari, ia membayar seorang tukang kunci untuk membuka pintu kandang babinya. Dan di malam hari ia menghabiskan uangnya dengan membeli arak putih murahan dan sekeresek nasi bungkus dari warung angkringan serta mengundang seluruh sahabat malamnya. Mereka pesta gila-gilaan, bernyanyi dan mabok serta kembali tertidur dengan penuh kedamaian. Sebelum benar-benar tertidur, Edi Idiot tak lupa berdoa, “Semoga bisa melunasi hutang pada Widy… Grok, grok, grok.”

* * *

Copyright Eka Kurniawan, 2000. Salah satu karya awal Eka Kurniawan ini saya salin dari Kumpulan Cerpen Terbaik Balairung (2000), buku oleh-oleh dari Sigit G.W. (Jogja) dalam kunjungannya ke Bandung sekitar tahun 2001. (Thanks Git! Bukunya udah lecek sekarang, hehe.) Foto ilustrasi dicomot dari sini.

[Cerpen Favorit] Kalau Bung Seniman, Jangan Tinggal di Kampung

$
0
0

.
(cerita pendek oleh Misbach Jusa Biran)

“Kalau Bung seorang seniman, jangan tinggal di kampung,” kata seorang pemuda dengan penuh kesungguhan. Pemuda itu belum pernah saya kenal dan pada suatu malam kami ditakdirkan Tuhan duduk berhadapan di warung kue putu merek “Cirebon” yang menetap dekat teng bensin di Pasar Senen. Dari cara dia duduk yang semaunya itu, dari semula sudah saya duga bahwa ini tentunya termasuk bangsa-bangsa seniman. Oleh karena malam itu saya mengenakan baju yang siangnya saya tidur, lecek, maka saya pun tidak menyalahkan kalau dia sebaliknya mengira saya seniman pula. Dan memenuhi kebiasaan di antara seniman, yakni meskipun belum pernah kenal atau berkenalan dapat saja bicara dengan intimnya, maka saya tidak ragu-ragu lagi.

“Kenapa?” tanya saya sambil menghembuskan asap rokok dengan gaya bebas, menggaruk-garuk rambut semaunya. Gaya yang saya sesuaikan dengan keadaan saya malam itu: seniman.

“Saya sudah mencobanya. Saya tinggal di kampung,” jawabnya sedih.

“Saudara seniman ya?”

“Pengarang,” jawabnya tandas, tapi segera disusul dengan helaan napas yang dalam, seperti ia tengah menjalani suatu takdir yang amat berat.

“O, pengarang. Mengarang apa? Barangkali saya pernah baca tulisan Saudara di majalah.”

Kawan itu tidak menjawab. Ia pura-pura tidak mendenga pertanyaan saya, buang muka. Saya yakin ia telah menyesal membuka pembicaraan dengan saya. Kebetulan saya segera sadar bahwa saya telah membuat kekeliruan yang amat besar. Karena saya pernah tahu, bahwa pertanyaan “yang mana karangan Saudara” adalah pertanyaan yang paling tabu diajukan pada seniman-seniman muda. Sebab besar kemungkinan seniman tersebut telah menjadi seniman sebelummenulis satu karangan pun. Pertanyaan itu akan sangat melukai hati. Kalau sampai ketahuan bahwa ia belum mengarang apa-apa, kan tentunya sulit buat pemuda yang ditanya untuk tetap mengaku seniman. Maka, saya pun cepat-cepat membelokkan pertanyaan itu. “Maksud saya, nama Saudara siapa? Tentunya saya pernah dengar-dengar.”

“Duka,” jawabnya tak bernafsu sambil tetap memandang ke arah lain.

“Cuma Duka saja?” tanya saya dengan suara yang saya buat-buat supaya kedengarannya betul-betul kepingin tahu.

“A. Indra Dukawan.”

“Betul! Saya sering dengar nama itu, sering disebut-sebut orang.” Apa boleh buat, saya terpaksa berdusta. Tapi karenanya saya bisa menebus kesalahan tadi. Ia kembali tertarik pada saya. Malah lebih dari itu ia jadi baik sekali, membayari kopi dan dua potong kue putu. Dan pembicaraan menjadi lancar, terus sampai malam. Rupanya malam itu ia sedang betul-betul pantas memakai nama Dukawan. Sedang dirundung kesusahan. Yang menjadi soal adalah asmara. Tetapi menurut A. Indra Dukawan, yang menjadi pokok utama adalah karena ia tinggal di kampung.

“Bagaimana mereka bisa mengerti kalaupun saya terangkan kepada orang-orang kampung itu?” katanya dengan suara yang betul-betul menunjukkan kesulitan. “Bagaimana saya bisa menjelaskan kepada mereka, bahwa pekerjaan seorang seniman tidak sama dengan pegawai-pegawai biasa yang pernah mereka kenal? Menurut anggapan mereka, orang yang baik dan rajin itu kalau pagi-pagi menenteng tas pergi ke kantor. Sedangkan saya yang mencari inspirasi setengah mati, bermenung-menung di kebun belakang, mereka katakan pengangguran, sinting, kurang waras. Malah ada yang mengira bahwa saya belajar ilmu sihir, tetapi tidak kesampaian, jadi agak linglung. Betul saya tidak bekerja, tapi saya mengarang terus. Bekerja keras. Tetapi tidak ada yang bisa memahami. Dan tambah menyedihkan lagi karena saya sering keluar malam, ada pula yang menyangka bahwa saya adalah OKD. Sama sekali saya tidak menganggap hina pekerjaan OKD yang tidak menerima gaji itu, saya sendiri juga tidak pernah punya uang, tetapi saya bukan OKD. Saya pengarang. Keluyuran malam yang saya lakukan adalah tugas yang sulit, mencari ilham, inspirasi. Dan kalau berhasil…? Ya, kalau berhasil saya bisa bikin buku…, bisa….”

“Bisa kaya…,” saya telanjur lagi, tetapi cepat bisa saya tutupi, “Maksud saya, biarkan sajalah orang-orang kampung itu, nanti juga kalau sudah terbukti…”

“Tetapi ini justru soal sekarang, bukan nanti. Sekarang! Saya punya pacar di kampung tempat tinggal saya. Orang tua si gadis terlalu menganggap sepele pada saya.”

“Sepele bagaimana?”

“Orang tuanya yang pertama-tama menganggap saya ini OKD, dan menyiar-nyiarkannya kepada tetangga.”

“Yang penting kekasih Saudara itu bisa mengerti. Habis perkara. Persetan dengan orang tuanya,” kata saya rada bernafsu. Memang panas juga hati mendengar seniman disangka yang tidak-tidak. “Sering-sering jumpai gadis itu, jeksi terus agar tidak kena pengaruh orang lain yang bodoh-bodoh itu. Ada kesempatan tidak, untuk sering-sering ketemu dan bicara?”

Dukawan diam saja selama dua menit. Dan setelah ia menggelengkan kepala sekian kali, berbisiklah dia, “Dia tak akan mau kepada saya, orang tuanya sudah menghasut dia begitu rupa….”

“Pernah Bung menyatakan cinta Bung terus terang?”

“Ya…,” jawabnya tidak begitu jelas. “Melalui sajak-sajak yang dimuat dalam majalah Rindu Damai keluaran Kalimantan.”

“Barangkali dia belum baca sajak itu.”

“Barangkali,” jawabnya. Menghela napas panjang. “Saya sendiri pun belum pernah melihat majalah itu beredar di Jakarta.”

“Jadi bagaimana dia bisa tahu pasti bahwa Bung mencintai dia?”

“Dia sudah seharusnya tahu. Cinta yang besar dan suci pasti akan sampai ke alamatnya,” kata Dukawan dalam tekanan yang berirama.

“Apa saja yang gadis itu bilang kalau kebetulan ketemu?”

Dukawan menggeleng. Setelah selesai menepuk nyamuk yang menggigit kakinya, baru ia menggumam, “Kami belum pernah ada kesempatan  bicara.”

Saya kira tidak terlalu sulit untuk memahami, bagaimana sebenarnya duduk perkara percintaan kawan saya ini.

“Dia tetap adem saja?” tanya saya untuk lebih meyakinkan.

Dukawan mengangguk.

“Pantas,” sambut saya dalam hati. Nyata letak kesalahan tidaklah seluruhnya pada orang tua si gadis. Karena, walaupun ayahnya tidak mengira Dukawan ini sinting lantaran belajar ilmu sihir atau mengatakan ia OKD, tetapi kalau Dukawan diam-diam saja, yaaa….

“Barangkali perlu dicari jalan lain?”

“Bagaimana?”

“Pakailah baju yang…” Tak jadi kalimat ini saya selesaikan.

“Saya mengerti! Saya tidak punya pakaian bagus. Dan saya tidak mau ia cinta kepada saya karena pakaian saya,” sedih benar kata-kata ini diucapkannya.

“Saya belum habis bicara tadi,” kata saya.

“Teruskan, teruskan!”

“Saya mau meminjamkan pakaian saya….”

“Tidak…,” jawabnya lesu sambil menundukkan kepala. Jelas ia merasa tersinggung sekali.”

“Maksud saya,” kata saya buru-buru, “saya sedia menolong. Bicaralah terus terang pada gadis itu agar jelas. Saya mau menolong kalau diperlukan. Nanti….”

“Nanti, nanti!” katanya agak membentak. “Sekarang! Soalnya adalah sekarang ini!” Usul saya hanya menaikkan darahnya saja. “Sekarang-sekarang ini saya harussekaligus kasih lihat kekuatan. Kenapa? Minggu depan dia akan diajak ke Puncak oleh si Achmad, pemuda otak kosong yang sekadar punya motor itu. Saya juga harus sanggup mengajaknya ke Puncak! Kenapa tidak? Berapa kira-kira ongkos jalan ke Puncak?”

“Kalau jalan kaki sih, murah,” jawab saya tak sengaja bercanda. Betul-betul kurang ajar kelakuan saya ini, tak pantas bermain-main juga dalam keadaan begitu.

“Taksi!” bentaknya bernafsu. “Pakai taksi berapa? Dengan makan-makan sedikit di restoran Puncak. Berapa?”

“Besar, Bung….”

“Yaaa, berapa?”

“Seribu…. Mungkin kurang sedikit. Sewa taksinya saja kira-kira lima ratus. Makan-makannya…, oleh-olehnya….” Terhenti saya karena tiba-tiba mata Dukawan memindahkan pandangan ke arah lain, redup matanya. Tersumbat kerongkongan saya. Kadang-kadang ia melihat ke arah tanah di bawahnya, entah melihat apa, sekali ia menoleh sekilas pada saya dan tersenyum sedikit. Entah apa maksudnya. Tapi semua itu menimbulkan suasana yang menyayat hati. Sekuat tenaga saya memeras otak, bagaimana caranya mengembalikan mata Dukawan agar agak bersinar lagi. Paling tidak seperti sebelum ia berkenalan dengan saya tadi.

“Begini, Bung, ada jalan,” kata saya. Ia hanya melirik sedikit saja. “Kalau naik bus barangkali bisa dikejar juga ongkosnya. Makanan, Saudara bawa saja dari rumah.” Usaha saya berhasil, perlahan-lahan tatapan matanya bertambah tajam pada saya. Malah sedikit senyum yang jernih mengembang pula.

“Berapa kira-kira,” tanyanya harap-harap cemas. “Berapa kira-kira ongkosnya semua sampai kembali lagi ke Jakarta?”

“Saya kira, yaaa, saya kira seratus rupiah cukup.”

“Seratus?” ulangnya perlahan sambil berpikir keras, lalu mukanya dihiasi senyum lagi. Dipegangnya tangan saya, “Mau Bung membantu saya?”

“Mau!” jawab saya kontan. Tentu saya harus bersedia membantu dia karena sejak tadi kerja saya hanya membuat ia kecil hati, sedih, atau tersinggung.

“Bagaimana? Katakanlah!”

“Saya punya sepasang sepatu dan satu celana wol yang jarang sekali ada gunanya buat saya. Tolong kaujualkan ke tukang loak. Saya malu menjualnya.” Saya sangat terkejut, Dukawan tidak melihat. “Saya kira akan laku semua itu seratus perak. Cocok dengan ongkos yang diperlukan.”

“Mampuslah kau!” bisik saya dalam hati pada diri sendiri. Tetapi saya sudah menyatakan bersedia membantu. Besok sorenya saya suruh si Sarpan, tukang becak kenalan saya untuk membawa celana wol dan sepatu Dukawan ke pasar loak di Gang Jagal. Saya menunggu saja di ujung gang.

Semua harta-harta Dukawan laku Rp 97,50. Saya beri Sarpan seringgit sebagai upah. Lalu saya tambah dari kantong sendiri Rp 5,00 maka genaplah jumlah yang dibutuhkan A. Indra Dukawan. Senang hatinya. Rasanya cukup terbalas juga segala kesalahan saya membuat ia terus-menerus duka tempo hari itu. Tetapi saya harus berbuat sesuatu yang lebih baik lagi. Dia tidak boleh meneruskan rencana mengajak gadis kecintaan pergi ke Puncak dengan naik bus dan membawa makanan dari rumah. Pasti ia akan ditertawai habis-habisan. Tentu hal itu akan terasa jauh lebih pedih daripada sekadar disangka jadi OKD.

“Kenapa Saudara harus bersusah-payah menyaingi si Achmad yang otaknya kosong itu? Tidak tepat kalau jalan yang kita ambil adalah justru apa yang padanya lebih kuat,” kata saya dengan tekanan-tekanan yang amat sungguh-sungguh meyakinkan.

“Apa maksud Bung? Diam-diam saja seperti yang sudah-sudah?”

“Bukan. Nyatakan cinta Bung itu dengan kesanggupan yang ada pada Saudara, mengarang. Kesanggupan yang pasti lebih daripada si Achmad yang kepalanyakosong itu. Dengan uang seratus ini belilah kertas dan karbon ketengan dan pita mesin ketik. Bikin cerita atau sajak. Persembahkn kepada kekasih itu.”

A. Indra Dukawan terdiam mendengar usul saya itu, ia berpikir dan berpikir.

“Betul juga,” katanya kemudian. “Dia tidak boleh jatuh pada saya karena saya dikiranya kaya, tapi harus karena kagum akan kesanggupan saya, pada bakat saya, pada cita-cita saya….”

Sebulan kemudian, kami ketemu lagi di Pasar Senen, di samping warung si Kecil, warung Cina yang menjual buah dingin. Disodorkannya selembar majalah yang dilipat terbuka pada bagian yang memuat tulisan Dukawan. Hampir saya berteriak gembira melihatnya. Betapa tidak? Setahu saya, itulah tulisan Dukawan yang pertama, yang berhasil diterima oleh majalah, dan itu terjadi karena dorongan saya.

“Kapan ini dimuat, Bung?” tanya saya dengan sungguh-sungguh gembira.

“Seminggu yang lalu,” jawabnya sambil tersenyum sedikit, lalu agak menunduk, “Maaf, uang honorariumnya sudah habis buat beli obat, tidak bisa mentraktir Bung.”

“Aaah, tidak apa. Sungguh mati tidak apa-apa.”

Di bawah kepala karangan itu tertulis “untuk si jantung hati, Rina”.

“Rina nama gadis itu, Bung?” tanya saya sambil agak tersenyum nakal, mengajak sedikit bercanda. Dukawan hanya mengangguk kecil saja. “Jadi, apa katanya? Dan bagaimana kata orang-orang kampung setelah mereka tahu bahwa Bung seorang pengarang?”

“Rupanya pengarang tidak boleh tinggal di kampung,” tukasnya dengan nada jengkel, “Mereka tidak bisa menghargai seni! Tambah buruk lagi pandangan mereka terhadap saya sekarang. Katanya tukang karang adalah tukang bohong, tukang berhutang. Memang sulit.”

“Tetapi, Bung jangan mundur!” nasihat saya yang kembali merasa terbakar dan jatuh kasihan pada Dukawan yang melamun saja sambil menggulung-gulung majalah di tangannya. “Masing-masing orang punya bakat sendiri-sendiri. Dan bakat yang jarang pada manusia ini jangan dibikin urung hanya karena pandangan orang kampung saja.”

Dukawan tidak segera memberi reaksi. Ia berpikir dan berpikir. Sesudah saya sodori rokok, barulah ia ada napsu untuk bicara. “Memang, saya tidak boleh mundur hanya karena si Rina tidak mau sama saya. Bung benar, masing-masing orang punya bakat sendiri-sendiri, betul. Mau menolong saya?”

“Tentu. Saya akan tolong Bung sebisa-bisanya agar terus menjadi pengarang yang hebat!” jawab saya penuh napsu. “Biar orang-orang kampung itu tahu bahwa mereka orang bodoh. Biar mereka betul-betul menyesal nanti karena menghina Bung, sekarang. Bagaimana, tolong bagaimana?”

“Kertas tik saya sudah habis,” jawab Dukawan segera, “Saya masih punya barang yang kira-kira bisa laku Rp 45,00. Mau tolong menjualkannya ke tukang loak?”

Masing-masing orang punya bakat sendiri-sendiri, memang, dan bakat saya menurut penglihatan A. Indra Dukawan rupanya adalah bakat untuk berurusan dengan tukang loak.

 

* * *

Cerita pendek ini saya ketik ulang dari buku kumpulan cerpen Keadjaiban Pasar Senen (Pustaka Jaya, Tjetakan Pertama 1971), dengan mengubah ejaan lamanya menjadi EYD, beberapa hari sesudah mendengar kabar Misbach Jusa Biran telah berpulang. Buku ini satu dari sedikit buku kumpulan cerita pengarang Indonesia yang saya letakkan khusus di samping ranjang untuk dibaca lagi dan lagi hampir tiap malam menjelang tidur, bergantian dengan Impian Amerika karya Kuntowijoyo (1998). Kedua buku itu, dengan caranya sendiri, selalu berhasil memompa semangat saya untuk kembali bangun keesokan harinya dengan percaya hidup ini memang seru dan lucu. Urip mung mampir ngguyu.

Diwawancara Arham

$
0
0

.

Suatu sore di bulan Maret 2012, Rahmat Arham tiba-tiba muncul di kantor saya. Tanpa ba-bi-bu dia langsung bilang ingin mewawancarai saya untuk dimuat di sebuah majalah lokal, pada edisi bulan depannya. Saya jarang mengiyakan permintaan semacam itu, tapi entah tersambit angin apa saya mengangguk saja waktu itu. Belakangan ada kabar, wawancara itu pemuatannya diundur hingga waktu yang belum bisa ditentukan, atau malah batal terbit sama sekali. Atas sepengetahuan Arham, berikut ini saya pajang hasil kerjanya:

Kineruku, a Backyard for Knowledge

Oleh Rahmat Arham

Mungkin belum banyak orang mengenalnya. Sikapnya dingin saat mula berjumpa, namun kian lama kita berada di dekatnya, kian luntur pula sifat pendiamnya. Pria 32 tahun ini gemar memakai jaket merah khas, berfrasa Bud Man—memotong satu huruf dari namanya—mungkin kostum itu membuatnya percaya diri bagai superhero. Soal berkeliling bersajian dalam konteks dialog, Budi Warsito piawai menyulap sekelumit perbincangan entah soal buku, musik, ataupun film, menjadi obrolan yang lebih seru dari seharusnya. Minat luasnya pada musik Indonesia lama, khazanah sinema dunia, buku-buku sastra yang seharusnya dibaca anak-anak muda namun sayangnya tidak; niscaya membuat kita terlena menghabiskan bercangkir-cangkir teh sambil mendengarnya berfasih-fasih soal itu. Dia curang soal senyum: tak pernah dibiarkannya lawan bicara melemparkannya mendahului dia. Malaikat pencatat amal kebajikan pasti kewalahan menghitung berapa kali dia tersenyum tiap hari. Anekdotnya seringkali tak tertebak, meski dia enggan membicarakan masa lalunya sebagai salah satu otak di balik naskah ratusan episode komedi televisi Extravaganza, menjadi pemimpin redaksi di edisi perdana majalah pria dewasa Bung!, atau kuliahnya yang akhirnya beres juga meski dengan berdarah-darah. Gelak tawanya berderai-derai bercampur haru mengenang itu semua. Kini fokusnya—bersama partnernya, Ariani Darmawan—mengurusi ribuan buku/musik/film di Kineruku, perpustakaan paling hip di Bandung.

Sebelumnya tempat itu bernama Rumah Buku (2003), lalu berganti jadi Rumah Buku/Kineruku (2009), hingga akhirnya mantap dipersingkat menjadi Kineruku (2012). Tahun ini usianya genap memasuki angka sembilan. Semisal anak sekolah, Kineruku saat ini duduk di bangku kelas 3 atau 4 SD, sedang mengejawantahkan pelajaran sejarah tentang masuknya Portugis ke Nusantara, belajar menghitung luas lingkaran, menghapal perbedaan angin muson barat dan muson timur. Mulai tumbuh bibit-bibit suka melirik lawan jenis, lihai menangkap peluang tatkala pembagian tugas belajar kelompok, atau sekadar saling bertukar bekal makan siang dari rumah. Kineruku terus menambah rak referensinya dengan semangat anak 9 tahun: disukai segala umur, antusiasme yang selalu terjaga. Saya meyakini Kineruku adalah tempat paling tepat untuk menghabiskan waktu—terutama jika kamu bijak menggunakannya. Membaca buku di halaman belakang, menonton film-film klasik di movies station, mencicipi nasi ijo khas Mbak Sur, menyeruput kopi vietnam, melewati senja. Di salah satu senja itulah, di kantornya Kineruku, Jl. Hegarmanah 52 Bandung, saya berusaha mengorek isi kepala “si kepala sekolah” tentang Kineruku yang belajar merangkak dan berjalan di usia balita, mantap berlari di usia sembilan, dan bagaimana caranya tetap melaju dengan koleksi-koleksi ajaibnya.

Seperti apa tahun-tahun awal Kineruku?
Pertama kali saya bikin program pemutaran film, tahun 2004 bareng Ariani, sok serius banget temanya, The Other Side of American Cinema. (tertawa) Ada empat film, pakai VHS semua waktu itu. Salah satunya film Linklater, judulnya Tape. Pemainnya tiga orang, sepanjang film setting-nya cuma satu tempat di kamar hotel. Penonton yang datang nggak lebih dari 10 orang, tapi kami sudah seneng banget waktu itu. Setelah beberapa program tematis di tahun-tahun awal, pemutaran film di Kineruku belakangan mulai berkembang ke film-film Indonesia dibarengi diskusi menghadirkan sutradara, seperti pada tahun 2009 ada film-film pendek Ifa Isfansyah (sebelum Sang Penari, tentunya), juga ada Impian Kemarau (tapi Ravi Bharwani sendiri malah nggak dateng!), Eliana, Eliana (ini personal favorite saya dan Ariani), Babi Buta yang Ingin Terbang-nya Edwin, dan lain-lain. Pernah juga muter kompilasi film-film pendek tugas akhir mahasiswa IKJ. Waktu itu penonton bisa sampai 70-an orang karena kami pasang layar tancep di taman belakang.

Koleksi buku/musik/film di koleksi rental Kineruku berasal dari mana? Apa yang paling sering dipinjam?
Awalnya koleksi pribadi dari para pendiri. Ketika buka pertama kali tahun 2003 ada sekitar 400-an buku. Pelan-pelan bertambah, kami terus berburu. Sekarang sudah mencapai angka 4000-an buku, 1000-an DVD film, 1000-an CD musik. Juga beberapa VHS dan laserdisc. Jumlah itu bakal terus bertambah. Hingga wawancara ini, menurut data statistik di komputer kami, most borrowed items-nya: novel Lolita dan The Catcher in the Rye (edisi Inggris maupun terjemahan Indonesia), buku-buku Haryoto Kunto tentang kota Bandung, DVD film Opera Jawa (kami khusus membelinya di Belanda karena tidak dirilis di Indonesia), DVD film Me and You and Everyone We Know-nya Miranda July, dan CD musik Beat Happening.

Ada peningkatan pesat jumlah anggota perpustakaan Kineruku selama tiga tahun terakhir ini. Kenapa?
Banyak faktor, tapi mungkin benar kata pepatah, “Ada gula ada semut”? Masalahnya, kami dulu terlalu lamban mempromosikan gulanya! (tertawa) Saya tercatat menjadi anggota pada tahun 2003 dengan nomor anggota 18. Sekarang jumlah anggota sudah tembus angka 1800 lebih. Berarti sudah seratus kali lipat. Banyak pengunjung mengaku menyesal baru tahu Kineruku belakangan. Misalnya, di tahun-tahun terakhir mereka kuliah dan sudah harus cabut dari Bandung untuk bekerja di kota lain. Karena itu mulai 2010 Kineruku juga buka di hari Minggu, memfasilitasi publik dari luar kota, meski cuma sampai jam 5 sore. Hari Senin-Sabtu sampai jam 8 malam. Tahun 2009, Efek Rumah Kaca pengen manggung akustik di taman belakang perpustakaan kami, lalu kami bikin secret gig-nya untuk anggota perpustakaan. Risky Summerbee & the Honeythief (2009), White Shoes and the Couples Company (2010), dan Zeke Khaseli (2011) juga pernah menjajal teras belakang kami. Sedikit banyak itu bikin anak-anak muda gaul jaman sekarang jadi ngeh ada tempat seperti Kineruku. Apalagi setelah mereka tahu koleksi perpustakaannya. Semua faktor tadi bekerja simultan begitu saja, seperti cara kerja alam semesta yang nggak sepenuhnya kita tahu. Tapi justru di situ serunya, bukan?

Berarti Kineruku cocok untuk kaum muda yang sedang bergelora?
Sebenarnya nggak terbatas kalangan muda saja. Banyak juga anak kecil hingga orang tua. Di deket sini ada SD, murid-muridnya sering mampir ke sini abis pulang sekolah. Kebetulan kami memang punya satu sudut kecil di sebuah rak yang isinya buku anak-anak. Saya pernah menyapa satu anak paling kecil yang semangat banget buka-buka buku cergam, “Udah bisa baca, Dek?” Jawabnya penuh semangat, “Belum, Kak! Tapi bentar lagi bisa!” (tertawa) Siapa yang nggak terharu, coba? Ada juga bapak-bapak tua berambut putih yang selalu datang jalan kaki untuk meminjam buku. Tapi kebanyakan sih memang anak muda. Nggak sedikit pengunjung yang mengaku sangat terbantu oleh buku-buku di Kineruku dalam menyelesaikan salah satu masalah klasik terbesar sepanjang sejarah anak muda: skripsi. Jika kalian galau melulu gara-gara judul skripsi ditolak terus sama dosen pembimbing, datanglah pada kami dan temukan sendiri solusinya di rak referensi. Banyak amunisi untuk menjadi pintar di sini. Juga rumput hijau di taman belakang, suara cericit burung di rindangnya pepohonan, itu terbukti obat stres paling mujarab hari-hari ini. Percayalah, kicau burung asli jauh lebih menenangkan ketimbang kicau burung Twitter. (tertawa)

Selain bekerja mengelola Kineruku, hobi apa yang sering menghabiskan waktu?
Entah ini berkah atau kutukan, tapi pekerjaan dan hobi saya beda-beda tipis. Sebelas duabelas lah.

Piringan hitam juga termasuk hobi? Koleksi plat pertamanya album apa?
Beberapa tahun belakangan ini piringan hitam tiba-tiba naik lagi. Entah kenapa banyak orang seperti berlomba-lomba mengoleksinya. Beberapa teman dekat menangkap tren itu, lalu bikin acara muter plat bareng dan ngobrol di Kineruku. Nama acaranya Dheg Dheg Plat. Semua orang suka nama itu! (tertawa) Plat pertama yang saya beli, album Oslan Husein warna kuning yang ada lagu “Es Mambo“, waktu itu harganya masih sepuluh ribu perak. Awal-awal saya kuliah di Bandung.

Berapa banyak piringan hitam yang dikoleksi sekarang? Dari koleksi itu, apa yang bisa mendeskripsikan Kineruku secara keseluruhan?
Belum sampai seribu keping kok. (tertawa) Hmm, sebenarnya hidup ini terlalu kompleks untuk digambarkan dengan hanya satu dua album. Tapi jika kamu memaksa, saya pilih album-album Adikarso dan Jimmy Giuffre. Mau yang digarap musik gambus, keroncong, lagu anak-anak, apapun, semua komposisi jadi terasa hangat nan damai di tangan Adikarso. Ringan, tapi tetap elegan. Dia bisa berdendang santai dengan lirik-lirik tak terduga soal segarnya sirup markisa, faedah makan pepaya, cuek menghilangkan punchline ‘Dor!’ di lagu “Balonku”, atau sekadar biografi seorang tukang solder. Kalau Giuffre saya tahunya dari koleksi plat Ariani yang kebanyakan jazz tua dan world music. Saya langsung jatuh cinta pada pendengaran pertama! Tiupannya maut, lembut tapi tengil. Pernah ketika tampil sendirian meniup klarinet, kakinya dihentak-hentakkan di lantai. Ada twist di sana-sini, langsung membekas di hati. Pengennya Kineruku bisa seperti itu. Luwes, bergizi tinggi, abadi, ngangenin.

Piringan hitam musisi Indonesia dan luar negeri yang akhir-akhir ini sedang on heavy rotation?
The Fugs – First Album. Ini band favorit saya! Bentukan penyair Beat sinting dan pemilik toko buku radikal, direkam tahun 1965 oleh sang legenda Harry Smith dan mengilhami The Velvet Underground. Mereka pernah sepanggung ketika Lou Reed dkk bahkan masih belum bernama The Velvet Underground. Kamu harus dengar lagu kacau mereka yang judulnya “Nothing”! (tertawa) Untuk rilisan lokal, selain plat-plat tua berisi lagu tradisional seperti gambang kromong asli, gending Jawa, atau musik saluang dari Minang; favorit saya masih Johnny Alexander – Sengketa Keraton Demak (1980). Biasanya saya puter di malam hari, pura-puranya relaksasi setelah seharian bekerja. (tertawa) Eh, tapi Soelih Soejatno – Vol. 1 mantep juga tuh buat santai-santai melankolik. Kalau pagi-pagi sih seringnya plat Igor Tamerlan – Langkah Pertama (1981). Biar semangat! Musiknya yang eklektik seperti menjitak saya, bahwa hidup memang seharusnya nggak gitu-gitu aja. Makanya ketika Ariani mengajak saya berdagang, bikin toko vintage di garasi sebelah perpustakaan Kineruku, saya langsung setuju 100%! Namanya Garasi Opa. Beberapa plat yang saya udah bosen dengerin saya jual di situ.

Mengelola perpustakaan pasti sering dimintai rekomendasi. Buku/musik/film apa yang seharusnya dipinjam pengunjung Kineruku?
Semua koleksi Kineruku! (tertawa) Biasanya sih saya tanya dulu kesukaan mereka apa, lalu dari situ saya sarankan untuk mencoba ini dan itu. Misalnya, suka Kubrick, coba deh periksa film-film Tarkovsky. Demen Wes Anderson? Harus nyobain film-film Hal Ashby dong. Nge-fans sama Sharon Van Etten, dengerin Sibylle Baier deh. Yah, semacam itu lah. Tapi paling seneng sih lihat ekspresi pengunjung setelah berhasil saya ‘tipu’ nonton Funny Games-nya Haneke yang versi asli 1997. Puas banget rasanya! Dan saya rasa anak-anak muda Indonesia sekarang harus tetap membaca buku-buku Idrus.

Sembilan tahun Kineruku. Apa harapan ke depan?
Pengunjung perpustakaan makin banyak dan beragam, sekaligus efektif dan efisien. Banyak referensi buku/musik/film kami yang bagus dan penting tapi belum pernah tersentuh (dipinjam) sama sekali. Mungkin saya dan Ariani harus lebih giat lagi promosinya. Itu masih PR besar buat kami. Sempat skeptis juga sih dengan social media, tapi mungkin harus dicoba. Meski nggak harus segencar itu juga. “If you want to get laid, go to college. If you want an education, go to the library.” Itu kata Frank Zappa.

* * *

[Cerpen Favorit] Paduan Suara

$
0
0

.

(cerita pendek oleh Jujur Prananto)

Sugeng benar-benar merasa masygul. Selama sekian tahun berkarier di bidang musik dan dunia tarik suara, baru kali ini ia menghadapi persoalan yang begitu meletihkan. Rasa-rasanya ia lebih senang dibebani pekerjaan memimpin produksi sebuah konser akbar yang melibatkan ribuan pemain sekalian, misal, daripada mengurus cuma beberapa orang, tapi harus berembel-embel perkara pelik yang tidak ada hubungannya dengan soal kesenian ini.

Ah! Awal kesalahan sebenarnya bersumber dari dia sendiri juga kenapa dulu mau menerima pekerjaan itu. Tapi, sudahlah, menyesali yang telah lewat tak akan pernah menyelesaikan masalah. Lagi pula siapa sih yang mau menolak honorarium delapan ratus ribu rupiah sebulan, tanpa kontrak yang mengikat, hanya untuk melatih sebuah paduan suara seminggu sekali?

“Kecuali kalau seumpama mau ada pergelaran, ya saya minta pengertian Dik Sugeng untuk meningkatkan frekuensi latihan. Bisa dua kali seminggu, atau kalau perlu malah tiap hari menjelang hari H-nya,” begitu penjelasan Ibu Gubernur waktu pertama kali memintanya menjadi koordinator sekaligus pelatih tunggal paduan Suara Pemda “Swara Budaya”.

“Bisa, Bu. Bisa saja.”

“Tentu saja nanti akan ada insentif, di samping uang transpor tetap diberikan untuk tiap kedatangan Dik Sugeng.”

“Terima kasih, Bu. Terima kasih sekali.”

“Bukan apa-apa, Dik Sugeng. Sayang kan, kalau potensi-potensi kesenian yang ada di lingkungan pemda mubazir begitu saja. Banyak lho, karyawan-karyawan kita yang diam-diam pintar menyanyi. Tapi itulah, beraninya, ya cuma di kamar mandi, sebab kalau menyanyi di kantor takut dicap indisipliner. Susah, kan?”

“Betul, Bu. Memang susah.”

“Makanya, bakat-bakat seperti itu harus kita himpun ke dalam satu wadah. Nah, wadah yang paling tepat saya pikir paduan suara itulah. Di samping menyalurkan bakat, lewat caranya sendiri paduan suara kan merupakan sarana latihan kedisplinan juga.”

“Persis, Bu.”

“Bandingkan saja dengan baris-berbaris. Seratus orang serentak mengikuti aba-aba belok kanan, tapi ada satu orang yang malah berbelok ke kiri, rusaklah itu barisan. Begitu pula paduan suara. Namanya saja paduan, ya harus terpadu. Seratus orang mulai menyanyi pada hitungan ketiga, tapi satu orang saja melakukan kesalahan dengan memulai pada hitungan kedua, kacaulah itu paduan.”

“Ya-ya-ya, pasti kacau.”

“Jadi, kegiatan paduan suara pada dasarnya ialah melatih kebersamaan secara benar. Dan kebersamaan yang benar adalah salah satu tujuan pelatihan disiplin itu sendiri. Artinya, kalau pemda menyisihkan sebagian dananya untuk keperluan ini sebetulnya tidak akan sia-sia, sebab secara tidak langsung paduan suara bisa menjadi salah satu sarana peningkatan kualitas sumber daya manusia.”

* * *

Program latihan “Swara Budaya” benar-benar mulai dari tahap paling awal, ialah pemilihan anggota paduan itu sendiri. Untuk itu Sugeng harus menyeleksi ratusan karyawan-karyawati dan juga para pejabat di lingkungan pemda, ditambah dari kanwil berbagai departemen, berikut anggota keluarga, yang berminat menjadi anggota.

Dan memang, ternyata banyak sekali bakat-bakat terpendam di lingkungan yang boleh jadi dalam kesehariannya sama sekali tidak pernah berhubungan dengan urusan kesenian itu. Walhasil, proses seleksi yang dilakukan secara maraton selama sebulan lebih itu secara mencengangkan menghasilkan sebuah kelompok yang unik sekaligus amat potensial.

Ada—misal—seorang karyawan di bagian penerimaan Pajak Pendapatan Daerah mengaku, waktu di SMP dulu pernah menjadi juara pertama menyanyi solo tingkat kabupaten. Juga seorang karyawati Kanwil Departemen Pertanian mengatakan pernah dikontrak oleh sebuah dealer organ Yamaha untuk menyanyi pada demonstrasi-demonstrasi penjualan produk tersebut di berbagai pusat perbelanjaan, sebelum dia diangkat menjadi pegawai negeri. Ada lagi seorang kepala bagian di Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi yang konon angker di kantor, ternyata bersuara bukan main merdu dan mengaku dirinya pernah menjadi pelatih vocal group karang taruna di kampungnya.

“Benar kan Dik Sugeng, apa yang saya katakan dulu?”

“Benar, Bu. Benar sekali.”

“Seleksi awal yang sudah Anda lakukan saya anggap berhasil.”

“Terima kasih.”

“Cuma…, kalau boleh saya kepingin memberi sedikit catatan.”

“Silakan, Bu.”

“Setelah saya bicarakan dengan anggota pengurus yang lain, jumlah anggota yang enam puluh ternyata dianggap terlalu besar.”

“Saya rasa tidak ada masalah, Bu. Angka enam puluh cuma untuk mempermudah dalam pembentukan kelompok. Tadinya saya membayangkan kelompok sopran, alto, tenor dan bas masing-masing lima belas orang. Tapi itu tidak mutlak. Seperti kelompok bas, misal, nantinya memang tidak akan sebanyak ini, sebab kelompok pria bersuara rendah kalau jumlahnya sama dengan kelompok-kelompok lain akan cenderung dominan.”

“Mungkin secara keseluruhan bisa dikurangi menjadi lima puluh, begitu?”

“Bisa, Bu. Bisa.”

“Nah, dalam pengurangan nanti, tolonglah dipikirkan juga faktor-faktor yang bagi di Sugeng mungkin tidak berarti, tapi bagi kami bisa menjadi…. Apa, ya? Dibilang ganjalan sebenarnya kurang tepat juga.”

“Maksud Ibu?”

To the point sajalah, ya? Coba kita lihat daftar yang Anda buat. Nah, seperti Pak Yadi ini. Dia kan… pesuruh kantor. Saya dengar juga masih honorer. Bukan maksud saya mau membeda-bedakan status, lho, tapi saya berpikir untuk kepentingan dia juga. Maksud saya, setelah seharian bekerja secara fisik, apa dia masih punya sisa tenaga untuk tarik suara?”

Saat itu ada desir halus menyentuh perasaan Sugeng.

“Juga si Umi ini. Saya tahu suaranya memang bagus. Tapi suami dia juru ketik yang masih golongan I-a. Apa nantinya dia tidak kerepotan kalau harus bergaul dengan ibu-ibu yang lain? Dia masuk kelompok sopran, ya? Wah, di kelompok ini ada Bu Kun, lagi. Padahal Pak Kun suami Bu Kun itu kepala bagian di tempat kerja suami Umi. Artinya suami Umi itu bawahannya-bawahannya-bawahan Pak Kun. Kasihan Umi, kan, kalau harus berbincang-bincang dengan Bu Kun? Coba, mau ngomong apa dia nanti.”

Sugeng tak berkomentar apa-apa.

“Nah, kalau Pak Krisno ini jangan ditarik. Kasihan dia, dari dulu kepingin sekali ikut. Dik Sugeng memberi nilai terendah, ya? Memang sih, suaranya tidak bagus-bagus amat. Tapi biarlah. Lagi pula dia kasir pemda. Kalau ada urusan apa-apa bisa lancar.”

Sugeng mengangguk-anggukkan kepalanya, semata-mata karena tak tahu lagi perbuatan apa yang paling pantas dilakukannya selain itu.

“Oh, ya! Sebelum lupa saya mau titip. Nanti ada yang namanya Bu Monda. Belum masuk daftar, kan? Dia memang tidak ikut seleksi, tapi sebenarnya suaranya bagus sekali. Lima tahun yang lalu dia pernah masuk bintang radio.”

“Memperoleh nomor?”

Nggak, sih…, tapi dari situ saya melihat keberanian dan semangat dia yang luar biasa. Untuk itu saya minta pada Dik Sugeng, tolong deh, sepupu Bapak itu dimasukkan.”

Begitulah, setelah melalui proses perampingan yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan jabatan, status, pangkat, pengaruh maupun hubungan kekerabatan, jumlah anggota Paduan Suara “Swara Budaya” sempat berkurang menjadi empat puluh delapan orang. Atas pertimbangan-pertimbangan yang sama pula, maka—kali ini setelah melalui proses “peninjauan kembali”—jumlah tersebut pada minggu pertama membengkak menjadi lima puluh delapan, dan selewat bulan kedua menjadi delapan puluh orang!

“Saya mohon Dik Sugeng bisa memahami perkembangan yang begitu dinamis ini,” demikian Ibu Gubernur berujar. “Menghadapi keadaan seperti itu kita harus pandai-pandai bersikap, dengan tetap mengingat, bahwa bagaimanapun kita ini oarng Timur. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan di kita masih tinggi. Maka ketentuan yang kita buat pun harus tegas tapi tetap manusiawi, tidak perlu menjadi kaku. Apalagi kalau cuma soal jumlah anggota. Yang penting kan kekompakannya. Nah, soal mengatur kekompakan ini kan sudah menjadi keahlian Dik Sugeng.”

Dan nyatanya sampai dengan tahap ini Sugeng masih sanggup membentuk formasi yang cukup kompak. Anggota-anggota yang memang bervokal kuat diperselang-selingkan sedemikian rupa dengan anggota-anggota titipan yang giliran harus menyanyi kadang harus ikut membuka mulut kadang tidak, dan yang waktu membuka mulut pun kadang bisa mengeluarkan suara kadang tidak.

“Nah, satu hal lagi. Kalau ini saya benar-benar cuma ingin membantu Dik Sugeng. Pergelaran perdana kita pada acara tujuh belas Agustusan di Balai Kota nanti ada lagu Hamba Menyanyi, kan?”

“Ya, Bu.”

“Ada bagian nyanyi tunggalnya?”

“Ada, Bu.”

“Sudah ditentukan solis-nya?”

“Baru saya seleksi.”

“Tidak makan waktu terlalu lama? Nanti tidak keburu, lho.”

“Sudah ada beberapa calon.”

“Kalau begitu biar si Eti sajalah.”

“Eti yang… banyak bekas jerawatnya?”

“Iya, itu anak saya.”

* * *

Bagaimana Sugeng tidak merasa masygul!

Selama ini Eti dia kenal sebagai anggota ya “lebih pantas menjadi pemain sepak bola saja daripada menyanyi.” Kualitas vokalnya di bawah standar, kecantikannya pun pas-pasan. Kalau distimulir secara khusus sebenarnya dia bisa bersuara lantang, tapi nada dasarnya selalu meyimpang dari intro. Kalaupun tidak menyimpang—ketika harus masuk dengan nada C, misal—maka nada C yang dinyanyikannya bisa satu oktaf lebuh tinggi dari yang seharusnya, hingga terdengar melengking di luar kendali.

Dan ternyata anggota yang satu itu adalah putri Ibu Gubernur! Telah ditentukan harus menjadi solis pula!

Sempat terlintas dalam benak Sugeng untuk menghentikan semua ini. Bubar! Tapi apa kata orang nanti tentang dirinya? Tanggung jawabnya? Lagi pula kenyataannya ia sudah menerima bayaran lumayan besar. Atau dikembalikan saja uang itu? Ah, berat juga mengumpulkan lagi dua setengah juta rupiah lebih jumlah total honornya selama ini. Kalau toh uang itu masih ada, rasa-rasanya sayang pula melepasnya lagi.

Akhirnya Sugeng memutuskan untuk jalan terus. Tidak bisa tidak ini harus diselesaikan. Minimal sampai dengan pergelaran perdana pada acara tujuh belas Agustusan di Balai Kota nanti.

Tak urung ia menderita stres teramat berat. Semua ia berniat cuek, main tak peduli, tapi nyatanya tetap saja ia peduli dengan suara Eti yang tak kunjung beraturan itu.

Satu-satunya jalan ialah: latihan habis-habisan. Atas permintaannya sendiri—yang tentu saja sangat didukung oleh Ibu Gubernur—Sugeng menyelenggarakan les privat bagi Eti. Maka tiadalah hari yang berlalu tanpa latihan vokal. Di ruangan, di lapangan, di pantai, di tempat sunyi. Tak henti-henti. Hah! Hah! Hah! Hah! Do-re-mi-fa-sol-la-si-do do-si-la-sol-fa-mi-re-do!

Hasilnya?

Ternyata tak ada kemajuan. Sugeng pun pasrah. Kualitas pergelaran terbayang sudah. Paduan suara yang sebenarnya tidak terlalu buruk itu bakal kandas oleh suara solis yang serak-serak-pecah.

* * *

Menit-menit terakhir menjelang pergelaran Sugeng tak bisa bertahan lagi. Perutnya mual. Kepalanya pusing. Dan persis giliran Paduan Suara “Swara Budaya” tampil di panggung, ia bersembunyi di kamar kecil. Samar-sama terdengar alunan lagu pertama… lagu kedua… Dan begitu masuk lagu Hamba Menyanyi, buru-buru ia menutup sepasang telinganya, gentar untuk mendengar lengkingan Eti. Tapi celaka! Suara dari panggung itu tetap saja bergaung. Lebih-lebih gemuruh teriakan yang membahana itu! Pastilah pekik kekecewaan! Pastilah kegaduhan! Pastilah pelecahan!

Tapi bukan… Ternyata itu suara tepuk tangan! Gemuruh suara pujian! Begitu meriahnya! Ya, suara tepuk tangan yang terdengar seusai Eti menyanyi! Mimpikah ini? Halusinasikah? Bukan. Yang didengarnya adalah kenyataan yang senyata-nyatanya.

Sugeng lari ke tempat pertunjukan. Melongok ke arah penonton. Ya! Mereka benar-benar berdiri memberikan tepuk tangan! Sementara di panggung sana Eti dan anggota paduan suara yang lain berkali-kali membungkukkan badan!

Begitulah, berangsur-angsur gemuruh tepuk tangan mereda pula. Sugeng menghembuskan napasnya keras-keras, lalu ikut duduk di samping seorang penonton. Ia pun mengambil sebatang rokok, menyalakannya hati-hati, mengisapnya pelan, mengepulkan asapnya penuh kenikmatan. “Bagus ya, Pak, paduan suaranya?”

“Yah, bagus nggak bagus kita tepuk tangan sajalah. Anak Pak Gubernur yang menyanyi, masa kita teriaki suruh turun.”

Sekonyong-konyong Sugeng tersedak, mirip orang baru belajar merokok.

Yogyakarta, 1 Februari 1994

Diketik ulang dari buku Parmin (kumpulan cerita Jujur Prananto, terbitan Kompas, 2002) halaman 131-139. Ilustrasi saya ambil dari sampul piringan hitam 10″ koleksi saya.

Posting terkait, cerpen favorit lainnya:
Kalau Bung Seniman, Jangan Tinggal di Kampung (Misbach Yusa Biran)
Kandang Babi, Rendez-Vous (Eka Kurniawan)
Sahabat Saya Cordiaz (Asrul Sani)
Chief Sitting Bull (Umar Kayam)
Memento Mori (Jonathan Nolan)
Sentimentalisme Calon Mayat (Sony Karsono)
Denton’s Death (Martin Amis)
Kisah Kasih Oto dan Wiwik (Joni Ariadinata)

[Cerpen Favorit] Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai

$
0
0

.

(cerita pendek oleh Yusi Avianto Pareanom)

2 porsi rib eye masing-masing seberat 1 pon
1 porsi dada kalkun seberat 1 pon (diiris tipis)
12 lembar daging babi asap
2 hamburger besar dengan mayo, bawang bombay, dan selada
2 porsi kentang bakar dengan mentega, krim asam, keju, dan kucai 4 lembar keju atau setengah pon keju cedar diparut
1 chef salad dengan minyak bumbu blue cheese
2 tongkol jagung rebus
1 pin es krim dengan taburan coklat mint 4 Coke vanila atau Mr. Pibb

—Santapan terakhir yang diminta Stanley Baker, Jr., 35 tahun, terpidana mati kasus pembunuhan, sebelum eksekusi pada 20 Mei 2002 di Austin, Texas, Amerika Serikat.

 

MAUT itu rahasia. Tapi, tidak selalu begitu. Beberapa orang tahu bagaimana dan kapan kematiannya akan tiba. Seorang ninja, misalnya, sangat paham bahwa ia hanya bisa mati oleh ninja lain jika tak ingin meninggal dunia karena sebab-sebab alami. Jika sudah bosan bernyawa, ia tinggal cari gara-gara dengan sesamanya yang lebih lihai.

Dalam eksekusi terpidana mati, kapan dan bagaimana kematian datang malah bisa diketahui beberapa orang sekaligus, para penjatuh hukuman dan si sial. Nasib para penderita penyakit terminal kurang lebih sama dengan derajat kepastian yang lebih longgar.

Sebelum cerita ini berlanjut, marilah pertama-tama bersepakat bahwa kau tak akan mengajakku berdebat dengan membawa-bawa paham eksistensialis. Jika, misalnya, aku bilang, “Orang itu mati karena serangan jantung,” tak perlulah kau menukas, “Bagaimana kau tahu serangan jantung yang menyebabkan kematiannya? Yang tepat adalah orang itu mati setelah terkena serangan jantung.”

Perdebatan semacam itu menarik dan layak ditulis tersendiri, tapi tidak kali ini. Sekarang, ini pertanyaannya: apa yang akan kau lakukan jika tahu bagaimana dan kapan kematianmu datang?

Stanley Baker, Jr, seperti catatan di atas, tak ingin mati dengan perut lapar. Aduhai betul, bukan? Orang mungkin bertanya-tanya, sekiranya menit-menit jelang eksekusi itu ia merasa mulas, apa yang lebih merisaukan Baker: belum sempat ke belakang atau sebentar lagi bakal mampus?

Clarence Ray Allen tidak bisa sesantai Baker Junior. Sebelum dikirim ke kamar eksekusi pada 17 Januari 2006 di California, Allen berkali-kali meminta pengampunan. Ia bilang dirinya terlalu tua dan terlalu sakit untuk dieksekusi. Ia tidak bohong. Saat itu ia sudah 76 tahun, buta, setengah tuli, dan lumpuh pula karena penyakit kencing manis. Agar permohonannya makin meyakinkan, pengacara Allen juga menyebut-nyebut bahwa perilaku kliennya lumayan terpuji dalam tahun-tahun terakhir.

Negara bagian California tak sudi melunak. Allen dijatuhi hukuman mati bukan karena dulunya ia seorang bedebah nomor wahid. Banyak orang yang seperti itu. Sebelum vonis hukuman mati jatuh, Allen sebetulnya sedang menjalani hukuman seumur hidup karena terbukti membunuh pacar anak lelakinya pada 1974. Alih-alih bertobat, selama di penjara ia malah mengatur tiga pembunuhan berencana lain. Rangkaian kejahatan inilah yang membuatnya dihukum mati.

Ketika permohonan ampunan terakhirnya ditolak, Allen merajuk. Ia bilang kamar eksekusi tak memiliki akses untuk kursi roda. Dengan ulahnya ini ia mau bilang bahwa tidak seharusnya ia dihukum mati oleh negara California karena eksekusi sangat mungkin membunuhnya. Sinting? Tunggu dulu. Beberapa bulan sebelum eksekusi, jantung Allen sempat berhenti tetapi ia selamat karena ditolong petugas medis penjara. Allen tak boleh mati oleh sebab alami. Bagaimana dan kapan ia harus mati sudah ditetapkan oleh para penghukumnya.

Aku tak berani bilang bahwa suntikan mati membuat Allen tak menderita. Tapi, setidaknya, ia ditidurkan dulu dengan suntikan pembius sebelum cairan beracun diinjeksikan ke tubuhnya. Bahkan, asal kautahu, dokter penjara juga mengusapkan alkohol ke lengan Allen sebelum menyuntik. Bukankah ini tanda kemurahan hati karena ia tak ingin Allen yang sebentar lagi mampus terkena infeksi? Bayangkan jika negara bagian California memberlakukan salah satu eksekusi terkejam yang pernah sangat digemari penguasa Tiongkok kuno: orang hukuman diikat di lapangan, ditelanjangi, kemudian buah zakarnya digigit sampai putus oleh orang kate. Sangat tidak aduhai, bukan?

 

AGUS Taswin, kakak iparku, merasa punya kedekatan khusus dengan para terpidana mati. Beberapa waktu yang lalu rongga atas perutnya terasa nyeri. Seminggu sesudahnya ia kena penyakit kuning. Awalnya ia tenang-tenang saja karena satu-satunya penyakit yang mengikuti nama warna primer ini tak sungguh-sunggu membuatnya kesakitan.

Namun, dokternya curiga, dan setelah pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap Agus Takwin, ia membawa vonis: adenocarcinomas. Sepintas mirip nama penulis naskah drama Yunani kuno, tapi ini nama salah satu kanker pankreas. Seperti kebanyakan penderita, Agus Taswin terlambat datang karena bibit kankernya ternyata sudah ada sejak lima tahun lalu. Vonis dokter, usia Agus Taswin tinggal enam atau tujuh bulan lagi.

“Yang pasti saja, Dok. Nanti setelah lewat enam bulan saya jadi tak tahu mesti senang atau cemas.”

“Maunya Pak Taswin?”

“Tujuh ya, Dok, angka bagus. Langit ketujuh, tujuh turunan, tujuh bidadari yang diintip Jaka Tarub, nomor punggung Robson, Cantona, Beckham, Ronaldo.”

“Saya ikut berdoa. Penggemar MU, ya? Saya lebih suka Arsenal.”

Agus Taswin tak tahu mengapa ia sempat-sempatnya bercanda. Tapi, itu reaksi spontannya karena ia belum membaca buku Bagaimana Semestinya Kau Bereaksi dalam Situasi Tak Terduga, Semisal Ketika Doktermu Menyebut Usiamu Tinggal Enam atau Tujuh Bulan Lagi.

 

SEPEKAN kemudian Agus Taswin datang ke kantorku. Seperti yang mungkin kau bayangkan, aku kaget dan melontarkan seruan “Apa?”. Klise memang, seperti adegan dalam sinetron. Tapi, dalam situasi seperti itu, percayalah, kau akan terbelit kekikukan yang sangat tak mengenakkan dan kefasihanmu hilang.

“Aku ingin kau nanti yang mengurus kematianku,” kata Agus Taswin.

“Aduh, jangan omong begitu, Mas Taswin, pamali,” kataku, “pasti ada jalan lain.”

“Harapanku juga begitu. Aku masih 49 tahun. Kalau dokter memintaku terapi kemo, radio, atau bahkan operasi, pasti kujalani. Aku juga mau cari pengobatan alternatif. Aku tidak menyerah kok. Tapi begini lho, aku tak mau merepotkan banyak orang. Jika mesti bikin susah, dengan berat hati, dan sangat berharap, aku ingin kau yang mengurusku.”

Aku mengangguk dan tanpa bisa kubendung mataku basah. “Anak-anak bagaimana, Mas?” “Pada saatnya aku akan bicara. Sekarang rahasiakan dulu.”

 

MAUT itu rahasia. Biasanya begitu. Tiga tahun yang lalu, Ratna Dyah Wulansari, istri Agus Taswin, kakakku satu-satunya, meninggal dunia tanpa sakit suatu apa terlebih dahulu. Sungguh, ia perempuan tersehat yang pernah kukenal.

Setiap pagi, Rani berbelanja sayur di pedagang langganan yang mangkal di perempatan jalan dekat rumahnya. Pagi itu akan menjadi seperti pagi-pagi yang lain sebelumnya jika saja tidak ada tukang ojek yang memacu motornya sedemikian kencang dan kemudian membanting stang ke kanan karena menghindari seekor kucing hitam yang melintas. Motor menghantam Ratna. Tukang ojek jatuh terguling sementara penumpang ojek terlempar dan Ratna terpental.

Ratna jatuh dengan kepala bagian belakang menghantam aspal. Ketika melayang di udara, dalam satu detik—mungkin juga satu setengah—Ratna sempat berteriak kaget, “E, tobil!”

Jika Ratna tahu bahwa sebentar lagi kesadarannya menghilang, bahkan nyawanya tanggal, mungkin ia tidak akan melontarkan seruan yang seremeh itu: nama anak kadal.

Gara-gara seruan terakhir itulah beberapa tetangga bilang bahwa Ratna matinya kurang bagus. Si penumpang ojek yang ikut sial dijemput maut pagi itu dianggap orang lebih beruntung karena sempat mengucap nama Allah, bahkan lengkap membaca Al Fatihah sebelum napasnya putus.

Ada yang bicara karena kucing hitam yang kulitnya sudah terkelupas di sana-sini adalah ilapat buruk.

Agus Taswin terluka saat mendengarnya.

“Engkau percaya amal perbuatan manusia hanya ditimbang berdasarkan detik-detik terakhir hidupnya?” tanya Agus Taswin ketika itu.

“Tidak, kalau begitu tidak adil,” kataku.

“Masih ingat kisah orang yang terluka di peperangan dan jelang kematiannya ada yang menawarinya minum?”

“Ya, ya. Ia menerimanya walaupun menurut si pencerita orang yang menawarkan minum itu sebetulnya iblis dan kemudian seluruh amal baik orang yang terluka itu terhapus. Miriplah dengan panas setahun dihapus hujan sehari.”

“Itu pasti hujan yang luar biasa,” kata Agus Taswin.

“Mas, aku yakin Tuhan bukan akuntan yang pencemburu. Tidak ada yang salah dengan saat-saat terakhir Mbak Ratna. Ia orang baik, Mas, sangat baik. Mas tak perlu khawatir,” kataku.

 

PERCAKAPAN tiga tahun yang lalu itu hadir lagi di kantorku. Berbeda dengan Ratna Dyah Wulansari yang tak tahu kedatangan ajalnya, Agus Taswin kurang lebih tahu kapan dan bagaimana ia harus meninggal dunia.

“Apa aku sekarang harus lebih banyak mengaji atau semacamnya?” tanya Agus Taswin. “Tidak ada salahnya sih, Mas. Tapi kok seperti ngejar setoran?” ujarku, spontan. Aku lantas merasa sungkan sendiri dengan kata-kataku barusan. Kurang patut.

“Kawin lagi?”

“Masa sengaja mencetak janda?”

Melihat Agus Taswin tak kehilangan selera humornya, aku pun berani mengimbangi.

“Bagaimana kalau gila-gilaan?”

‘Terlalu Hollywood. Bukan gaya Mas.”

“Benar, benar,” kata Agus Taswin. Setelah itu ia terdiam lama dan kemudian pamit.

 

BERHARI-hari Agus Taswin tak menghubungiku. Telepon dariku pun tak dibalasnya. Aku cemas. Maka, sepekan setelah pertemuan di kantorku itu aku mendatangi rumah Agus Taswin.

Agus Taswin sedang duduk di teras belakang memegang buku ketika aku tiba di sana. Ada beberapa buku lain di meja. Yang sedang dibacanya adalah The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger.

“Maaf membuatmu cemas, telepon sengaja kumatikan,” kata Agus Taswin. “Aku benar-benar sedang ingin membaca. Buku-buku ini utang yang ingin kubayar sebelum mati. Aku dulu beli untuk membacanya, tidak menimbun.”

Catcher kan sudah kaubaca berulang kali, Mas?” tanyaku.

“Betul, tapi tetap ciamik. Mungkin Mark David Chapman memang sinting, baca buku bagus gini malah nembak John Lennon. Tapi Chapman benar tentang satu hal saat menggemakan Holden Caulfield, menjadi palsu itu memuakkan.”

“Lantas?”

“Usiaku menurut dokter tinggal beberapa bulan lagi. Hal terakhir yang kuinginkan adalah menjadi orang palsu,” kata Agus Taswin.

“Oh,” kataku. Aku langsung bangkit dan memeluknya. “Sekali manusia asyik tetap asyik, Mas.”

“Tak terlalu buruk, bukan? Tapi, eh, kenapa kau sekarang jadi cengeng begini?”

 

MAUT itu rahasia. Dan biasanya memang begitu. Sembilan bulan setelah vonis kematian, Agus Taswin tampak sehat dan bungah. Inilah yang kulihat ketika aku mampir ke kantornya hari ini. Sepertinya, gabungan beberapa pengobatan dan pemanjatan doa yang dilakukannya cukup mustajab.

Tiga bulan yang lalu Agus Taswin tidak seceria ini. Ketika itu, dua anak kembarnya, Bambang Ekalaya dan Ratna Setiaboma—yang lebih muda tujuh menit, langsung pulang meninggalkan studi mereka di luar negeri begitu kukabari bahwa ayah mereka akan segera dioperasi. Ekalaya dari Swiss, sementara Ratna Setiaboma dari Amerika Serikat. Si kakak belajar menjadi chef profesional, adiknya mengejar gelar Ph.D biologi molekuler.

Agus Taswin sebetulnya tidak terlalu suka dengan kehebohan semacam itu. Katanya, selama dua puluh empat tahun usia anak-anaknya, ia tak pernah merasa punya masalah, tak ada ganjalan yang harus dibereskan sebelum dirinya meninggal dunia.

“Jangan terlalu keras, Mas, anak-anak memerlukan ini, Mas juga,” kataku saat itu.

Bambang Ekalaya dan Ratna Setiaboma menemani Agus Taswin sepanjang operasi. Mereka tinggal selama dua minggu sebelum pamit berangkat lagi.

“Titip Bapak, ya Om,” kata Ratna Setiaboma.

“Jangan khawatir, bapak kalian sekuat banteng. Jangan-jangan ia yang nanti mengurus Om,” kataku.

“Kok Om omongnya begitu?” tanya Ekalaya

“Tidak, sudahlah, yang penting bapak kalian sudah pulih sekarang.”

 

BEGITULAH. Ketika aku singgah hari ini Agus Taswin terlihat sedang tertawa-tawa menghadap layar komputer di ruangan Tan Kok Siong, staf muda di kantornya. Penasaran, tanpa diundang aku ikut melongok.

Walah. Ternyata Agus Takwin dan Tan Kok Siong sedang membuka situs porno Jepang. Awalnya Tan Kok Siong yang membuka dan ia tak sempat menutupnya ketika Agus Taswin masuk tanpa permisi dan tahu-tahu sudah berada di sampingnya. Tan Kok Siong tak punya pilihan selain pamer sekalian.

“Cantik-cantik tapi mau main film ginian, edan,” kata Agus Takwin.

“Justru karena mereka cantik itu, Bos,” ujar Tan Kok Siong.

“Jadi, ndak ada itu ya yang namanya terlalu cantik untuk film porno?”

“Justru karena mereka cantik itu, Bos,” ujar Tan Kok Siong, mengulang.

“Bintang laki-lakinya, aduhai, itunya kecil banget,” kata Agus Taswin.

“Iya, untung betul mereka,” ujar Tan Kok Siong. Dari nada suaranya sepertinya ia gemas, mungkin juga geram atau malah dendam.

“Milih mana, barang kita segumprit, tapi lawan mainnya indah-indah kayak mereka atau barang kita sebesar perabot kuda tapi dapatnya cuma perempuan rongsokan?” tanyaku.

“Sialan, pertanyaan menarik itu,” kata Agus Taswin.

Kami bertiga tertawa berbarengan. Tapi, tak lama kemudian kami terdiam dan menelan ludah, juga berbarengan. Adegan di depan mata terlalu sayang untuk tidak dinikmati dengan saksama. Mungkin karena ingin memuaskan kami sebagai tamu tak diundangnya, mungkin juga urusan menghadap layar berjamaah ini cepat tuntas, Tan Kok Siong membuka berkas-berkas terbaik yang sudah diunduhnya. Ada Sora Aoi, Maria Ozawa, Nanami Takase, Takako Kitahara, Kirara Asuka, Riko Tachibana, Rio Hamasaki, dan beberapa nama lagi. Dengan malu-malu aku menghapalkan nama-nama itu dan mengancam bakal mengunduh sendiri begitu sempat.

“Siong, kamu mau nggak dikasih main tiga kali sama… katakanlah Sora Aoi, atau salah satu dari merekalah, terus dibikin mati?” tanya Agus Taswin. Tan Kok Siong garuk-garuk kepala, lalu menjawab, “Mainnya sih kebayang enaknya, Bos. Pengin sih ngrasain. Tapi ngapain juga, Bos, dapat yang biasa-biasa juga oke, asal tidak mati. Mati tidak enak, tidak bisa lihat yang bagus-bagus.”

“Dasar pandir! Kau kan bisa main dua kali saja, terus pulang,” kata Agus Taswin.

Kami bertiga tertawa lagi. Gara-gara omongan Agus Taswin itu, aku jadi sempat tentang Make a Wish, yayasan yang sering membantu orang mewujudkan impian. Biasanya, impian terakhir orang sebelum dijemput ajal keinginan anak-anak ketemu dengan bintang idolanya atau menonton film aksi yang belum diputar di bioskop. Jika saja yayasan ini membuka layanan kepada terpidana mati, bintang-bintang Jepang itu akan kewalahan karena mereka begitu elok, begitu surgawi, dan alangkah penurutnya—setidaknya di tayangan yang kulihat. Bohong besar jika aku bilang bahwa tidak ikut kepengin. Satu-satunya yang mungkin menghalangiku memutus sepenuhnya hasrat lama kepada Latina jelita seperti Paz Vega atau Monica Belluci adalah fakta bahwa wanita-wanita Sakura yang cantik itu selalu saja dirujak habis-habisan dengan alat-alat aneh oleh aktor-aktor yang ukuran penis, bentuk tubuh, serta rupa cecongor mereka menggelikan.

 

MAUT itu rahasia. Biasanya begitu. Dan aku seharusnya tahu itu. Setelah puas, capai tepatnya, memelototi layar komputer, kami bertiga turun untuk makan siang di restoran Padang di samping kantor mereka. Menu pilihan kami siang ini adalah rendang bebek, telur balado, dan terong panggang cabai hijau dan semuanya pedas dan sedap. Kami masih melanjutkan obrolan seputar kedahsyatan bintang-bintang Jepang itu dengan tawa di sana-sini ketika terdengar suara dentuman keras dari arah dapur. Sepertinya ada tabung gas yang meledak.

Tanpa peringatan, tiba-tiba jantungku terasa seperti diremas oleh sarung tangan berduri. Perih sekali.

Aku terbangun dengan perasaan ganjil. Lamat-lamat kudengar suara Agus Taswin.

“Saya kakaknya, Dok. Saya yang akan mengurus jenazahnya.”

 * * *

Foto ilustrasi diambil dari sini.

Cerpen ini saya ketik ulang dari buku Rumah Kopi Singa Tertawa (Yusi Avianto Pareanom, Banana, 2011). Bagi saya ini angin segar bagi dunia cerpen Indonesia yang makin melempem beberapa tahun (dekade?) terakhir. Cara melucunya yang lempang mengingatkan pada cerpen-cerpen lama Misbach Yusa Biran dan Kuntowijoyo. Andai Budi Darma bisa lebih humoris, mungkin bakal seperti ini absurdnya. Gembira bukan kepalang saya bisa menanggap penulisnya di acara bincang buku di Kineruku.

 

Posting terkait, cerpen favorit lainnya:
Paduan Suara (Jujur Prananto)
Kalau Bung Seniman, Jangan Tinggal di Kampung (Misbach Yusa Biran)
Kandang Babi, Rendez-Vous (Eka Kurniawan)
Sahabat Saya Cordiaz (Asrul Sani)
Chief Sitting Bull (Umar Kayam)
Memento Mori (Jonathan Nolan)
Sentimentalisme Calon Mayat (Sony Karsono)
Denton’s Death (Martin Amis)
Kisah Kasih Oto dan Wiwik (Joni Ariadinata)


The World’s Greatest Rock ‘n’ Roll Scandals

$
0
0

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), kata ‘skandal’ berarti “perbuatan yang memalukan; perbuatan yang menurunkan martabat seseorang”. Tapi jika dilekatkan pada nama-nama rockstar—yang seolah-olah identik dengan keliaran—masihkah itu berarti martabat turun? Dalam wacana popularitas dan industri musik yang hingar-bingar, names make news, dan tentu saja bad news is good news. Semakin heboh skandal yang mereka ciptakan, justru semakin tinggi ketenaran terdongkrak. Dan skandal itu tak pernah jauh dari selangkangan, botol bir, dan zat-zat terlarang. Setelah menghiasi headline beberapa surat kabar dan tabloid kuning, puluhan kisah skandal terbesar itu dikumpulkan oleh David Cavanagh, diramunya menjadi buku tipis ber-layout buruk yang layak dibaca setiap orang yang mengaku dirinya penggemar musik. Atau lebih tepatnya, penggemar gosip musik. Para penggila The Doors, misalnya, ‘wajib’ mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Jim Morrison di hari naas di Paris, 5 Juli 1971. Atau benarkah Sid Vicious, pentolan Sex Pistols yang konon tak bisa bermain musik sama sekali, menusukkan pisau berkali-kali ke tubuh pacarnya hingga mati di sebuah kamar hotel di New York?

Buku ini sebenarnya lebih tepat diberi judul The World’s Greatest Rock ‘n’ Roll Tragedies, sebab kematian bertebaran di sana-sini. Ada apa di balik tewasnya Jimi Hendrix dan Janis Joplin? Apa hubungan serial killer Charles Manson dengan lingkaran selebritis dan musisi saat itu? Mengapa rumor ngawur tewasnya Paul McCartney akibat kecelakaan mobil makin menjadi-jadi di tahun 1966? Benarkah hanya karena othak-athik gathuk dari para fans kurang kerjaan tentang tanda-tanda kematian di lirik lagu “A Day In The Life”, ilustrasi bunga tabur berbentuk mirip gitar bass di sampul album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band, dan bahwa Paul McCartney satu-satunya personel The Beatles yang tak bersepatu di foto legendaris Abbey Road?

Fakta-fakta konyol dan seru tersebut—penting atau tidak penting itu lain soal—disajikan dalam judul-judul bab yang dicomot dari judul lagu-lagu terkenal. Bab berjudul “Dark Side of the Loon” misalnya (kita tahu itu plesetan dari judul album apa), membahas kegilaan Syd Barrett dalam arti harfiah dan kehancurannya akibat drugs hingga harus mendekam di rumah sakit jiwa. Perihal musisi yang sempat mencicipi kerasnya hotel prodeo dibahas di bab “Jailhouse Rock”, tentu saja dari judul lagu Elvis Presley, satu nama besar yang diakui penulis buku ini sebagai, “If there had never been him, this book would not exist.”

Secara menarik, buku ini juga membahas fenomena ‘groupies’ yang mulai menggejala di akhir 1960-an. Mengutip Eric Clapton, “It wasn’t your body or your face they wanted to make love to, but your name.” Ouch. Buku ini satu bukti betapa kalimat sakti “Sex, Drugs, and Rock ‘n’ Roll” bukanlah jargon belaka. Apa boleh buat, sebagian mereka ‘mengamalkan’-nya dengan sepenuh hati.

[Budi Warsito]

The World’s Greatest Rock ‘n’ Roll Scandals. David Cavanagh, 1994, Bounty Books, 160 pages.

http://budiwarsito.net/the-world%E2%80%99s-greatest-rock-%E2%80%98n%E2%80%99-roll-scandals/

Music: A Very Short Introduction

$
0
0

Ketika diwawancarai sebuah majalah musik, Elvis Costello pernah mengatakan, “Writing about music is like dancing about architecture.” Lebih jauh lagi, “It’s a really stupid thing to want to do.” Satu pernyataan menohok dan pesimistis. Tapi pada kenyataannya, buku-buku tentang musik akan tetap ditulis dan diburu orang. Benarkah menulis tentang musik itu hal yang bodoh?

Nicholas Cook, seorang profesor musik dari University of Southampton, Inggris, bisa jadi tidak sepakat. Meski pendapat Costello itu dia sertakan di kata pengantar Music: A Very Short Introduction, buku-tipis-padat-berisi yang ditulis Cook ini justru menunjukkan betapa menulis musik bisa jadi sesuatu yang serius, intens, dan mencengangkan. Buku ini memang berbau akademis, namun relatif santai. Dengan merujuk di sana-sini pemikiran dari beberapa filsuf (Wittgenstein, Adorno, dsb), buku ini membahas Musik (dengan “M” besar) dan kaitannya dalam kompleksitas dunia yang semakin tua ini. Bab pertama dibuka dengan kalimat menggebrak “I want to be… a musician.” Tapi jangan harap menemukan kiat-kiat praktis menjadi musisi. Yang ada justru sebaliknya: mempertanyakan, apa sebenarnya “musisi” itu?

Dengan pisau analisis yang tajam dan selera humor yang bagus, Cook menari-nari di padang musik yang cukup luas: mulai dari pembahasan “The Ninth Symphony”-nya Beethoven yang abadi, awal terbentuknya Spice Girls dari sebuah iklan audisi, hingga notasi pada instrumen tradisional Cina. Kita juga diajak berpikir ulang tentang wacana gender dalam musik (“A woman’s place is in the kitchen, not in the symphony orchestra…”), seberapa besar peran dunia akademik dalam perkembangan musik (“What the hell is musicology?”), dan hal-hal menarik lainnya.

Kalau kepala kamu sering dipenuhi pertanyaan: kenapa penggemar Radja sama banyaknya dengan pembencinya; kenapa The Mars Volta mendapat tempat terhormat di kalangan kritikus musik; dan kenapa Slamet Abdul Sjukur tetap setia di jalur musik kontemporer; mungkin buku ini bisa membantu kamu ke arah jalan yang terang.

[Budi Warsito]

Music: A Very Short Introduction
. Nicholas Cook, Oxford University Press, 2000, 144 pages.

http://budiwarsito.net/music-a-very-short-introduction/

Photocopies

$
0
0

.
Perihal ingatan selalu menduduki tempat istimewa dalam kerumitan peradaban manusia. Berbagai penemuan tercipta demi ‘menolak hilang ingatan’: jam pasir di era Mesir kuno hingga jam weker modern buatan Swiss; lukisan purba di gua prasejarah hingga tulisan blog di dunia maya; kamera pertama ciptaan Joseph Niépce hingga piranti tercanggih di katalog terbaru Canon. Semakin maju teknologi, semakin kompleks pula pemikiran manusia: ranah ingatan kemudian melebar dari ‘sekadar upaya mengawetkan’ menjadi ‘sekaligus media berekspresi’. Tak terhitung karya seni yang lahir dari persoalan ini. Sutradara Christopher Nolan membuat film Memento, sebuah narasi menarik tentang kamera Polaroid dan perlawanan tokohnya terhadap amnesia; penyair Goenawan Mohamad menggubah puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci” yang teramat menggetarkan perihal kenangan; dan pelukis Raden Saleh dengan kanvasnya menafsirkan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh tentara Belanda.

Di antara banyak pilihan medium, John Berger, seorang novelis pemenang Booker Prize sekaligus kritikus seni yang handal asal Inggris, memilih ‘fotokopi’ sebagai lahan filosofis untuk bermain-main dengan ingatan. Dalam bukunya berjudul Photocopies, Berger berkisah tentang orang-orang yang pernah ia temui, baik yang sudah lama ia kenal, maupun mereka yang tak bernama dan hanya singgah dalam perjumpaan singkat tak sengaja. Sejumlah 29 esai pendek ditulis dalam gaya memoir yang mengasyikkan: perjalanan kapal feri menyusuri perairan Mediterania, musim panas yang menyiksa di Barcelona, perjumpaan dengan pianis muda asal Ukrania, dua siswi sekolah yang cerewet di dalam perjalanan bus dari Dublin, seorang wanita tuna wisma yang memelihara burung dara di sebuah taman di London, atau percakapan intelek dengan fotografer legendaris Henri Cartier-Bresson. Penggabungan kemampuan visual Berger (yang juga seorang pelukis), pemahaman atas pemikiran Marxist, juga penguasaan teknik merangkai kalimat puitis yang mengagumkan, menjadikannya bukan sekadar catatan biasa.

Esai pertama di buku ini, “A Woman and Man Standing by a Plum Tree” bercerita tentang perempuan yang sekilas pernah Berger lihat di Spanyol bertahun-tahun silam, tiba-tiba muncul di rumahnya di Prancis sambil menenteng kamera tua. Sebelum kembali menghilang, perempuan itu memotret dirinya bersama Berger di bawah pohon rindang. Hasil foto itu, yang dimuat di halaman pertama dan satu-satunya di buku ini, tak pernah tampak jelas. Meski menyisakan detil di beberapa titik, ia juga buram di sana-sini. Foto tersebut (yang lebih mirip hasil ‘fotokopi’ daripada ‘fotografi’) sangat tepat menggambarkan nada keseluruhan buku ini: segigih apapun kita menjaga kenangan, selalu ada yang bakal mengabur.

The two of us stood there facing the camera. We moved, of course, but not more than the plum trees did in the wind. Minutes passed. Whilst we stood there, we reflected the light, and what we reflected went through the black hole into the dark box. It’ll be of us, she said, and we waited expectantly.”

Teks Berger memang berkisar di wilayah abu-abu antara ‘mengingat’ dan ‘melupa’. Fotokopi jelas sebentuk kepemilikan semu. Kita bisa saja memfotokopi satu dua halaman yang kita sukai dari sebuah buku tebal di perpustakaan, tapi itu sekaligus menegaskan bahwa kita tak mampu memilikinya secara utuh. Para petugas kelurahan tidak serta merta berarti mengambil alih identitas warganya (apalagi dalam arti luas dan seutuhnya) ketika kita menyerahkan fotokopi KTP untuk urusan administrasi penduduk: identitas tetaplah mutlak milik orang per orang.

Demikian pula dengan segala kenangan di buku ini, mereka cuma otentik di benak penulisnya. Kita, para pembaca, “hanya” berhak membaca replikanya, fotokopiannya, yang tentunya jauh dari komplet. Namun jika dituturkan dengan gaya perenungan dan selera orisinal seperti ini, rasanya sudah lebih dari cukup. Mengutip puisi Goenawan Mohamad, “Sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi.” Berger membikin mereka abadi.

[Budi Warsito]

Photocopies
. John Berger, 1996, Vintage International, 180 pages. Literature/Memoir.

http://budiwarsito.net/photocopies/

Cerpen Favorit: Chief Sitting Bull

$
0
0

.
(cerita pendek oleh Umar Kayam)

Pagi itu tidak banyak orang yang berkerumun di sekitar carousel Central Park. Hanya ada beberapa orang anak kelihatan bertengger di atas kuda-kudaan, seperti biasa tidak sabar menunggu lonceng tanda carousel berjalan berbunyi. Di bangku-bangku sekitar carousel, ibu-ibu atau pengasuh anak-anak itu duduk mengobrol sambil sesekali mengawasi anaknya. Teng-teng-teng. Lonceng berbunyi, wajah anak-anak berseri-seri, dan carousel pun bergerak. Kuda-kuda mulai naik-turun diiringi musik waltz.

Dari arah kebun binatang kelihatan seorang kakek berlari tergopoh. Di tangannya dijinjingnya sebuah kantong. Waktu sampai di muka loket, dengan napas sengal-sengal diberikannya uang lima puluh sen kepada perempuan yang menjual karcis.

“Lima, seperti biasa, Charlie?” Charlie kembali mengangguk sambil menerima lima helai karcis yang berlaku buat naik lima kali putaran. Kemudian dia berdiri di pinggir pintu masuk. Salah seorang penjaga yang melayani anak-anak turun dari kuda, datang mendekati Charlie.

“Kau lambat hari ini, Charlie?”

“Ya. Mary, menantuku, tidak beres pagi ini.”

“Tidak beres bagaimana?”

“Masa dia lupa menaruh jatahku yang $ 1 itu di meja dapur. Pagi ini aku hanya mendapatkan sandwich-ku untuk lunch di meja itu. Terpaksa aku tunggu ia sampai kembali dari laundromat. Aku labrak dia waktu dia kembali. Sampai nangis-nangis dia minta ampun.”
“Habis itu semua beres, kan?”

“Oh, ya, tentu, tentu, Mary anak yang baik sesungguhnya. Cuma kadang-kadang dia tolol.”

Si penjaga tersenyum.

“Aku khawatir kau harus menunggu agak lama pagi ini, Charlie.”

“Apa maksudmu?”

“Lihatlah, kudamu yang putih dipakai. Begitu juga yang hitam. Kecuali kalau kau mau naik yang lain. Maukah kau?’

“Tidak, tidak. Aku cuma naik yang dua itu.”

“Jadi kau mau menunggu saja?”

“Tidak, tidak. Aku segera naik begitu putaran ini selesai.”

“Tetapi anak-anak itu terus-menerus naik sampai enam putaran. Aku tidak tahu berapa mereka diberi uang oleh ibu mereka. Anak-anak Madison Avenue itu.”

“Ah, serahkan saja kepadaku. Masa aku kalah oleh anak ingusan. Anak ingusan tetap saja masih ingusan, biarpun dia dari Madison Avenue atau dari Avenue langit pun.”

Penjaga tersenyum dan meninggalkan Charlie karena lonceng telah berbunyi menandakan putaran itu telah selesai. Charlie mendekati anak yang mengunggang kuda putih.

“Howdy, Bill.”

Anak itu agak terkejut disapa seorang kakek.

“Namaku bukan Bill.”

“Tetapi bukankah kau Buffalo Bill? Bill Cody?”

Si anak tertawa.

“Ya, ya, betul. Aku Buffalo Bill. Dan kau siapa?”

“Aku Sitting Bull.”

“Chief Sitting Bull?”

“Ho!”

“Ho!”

Charlie menepuk-nepuk kuda putih.

“He, Bill. Sejak kapan kau ganti kudamu?”

“Apa maksudmu?”

“Bukankah Buffalo Bill naik kuda merah?”

“Tidak, tidak. Buffalo Bill selalu naik kuda putih.”

“Tapi dia naik kuda merah waktu mengalahkan Sitting Bull.”

“Benarkah?”

“Ya, tentu saja. Dan Sitting Bull naik kuda putih waktu itu.”

Si anak memandang Charlie dengan penuh keraguan.

“Tunggu dulu, Pak.”

“Chief.”

“Chief. Tunggu dulu, Chief. Benarkan Buffalo Bill pernah ketemu Sitting Bull?”

“Eh, bicara apa kau? Kau ini anak Amerika, apa anak Cina? Jawablah, apakah kau anak Amerika yang baik?”

“Ya, aku anak Amerika.”

“Nah, kenapa belum tahu bahwa Buffalo Bill yang mengalahkan Sitting Bull?”

Si anak kelihatan bingung dan belum yakin betul akan kata-kata Charlie.

“He, Bill. Kudamu merah telah menunggu kau, ‘tu. Aku, Sitting Bull harus segera naik kuda putih.”

Si anak belum juga turun dari kudanya.

“Ayolah! Buffalo Bill naik kuda merah mengejar Sitting Bull yang naik kuda putih. Kalau nanti lonceng berbunyi aku akan mulai dengan wu-wu-wu-wu-wu begini dan kau, Bill, akan mulai menembak aku dari belakang. Tam, tam, tam, tam.”

“Tetapi Buffalo Bill tidak pernah mau menembak dari belakang.”

“Siapa bilang? Melawan Indian dia harus menembak dari belakang. Bukankah Indian selalu lari tiap ketemu Buffalo Bill? Dan Buffalo
Bill bukankah harus mengejar dan menembak dia? Ayolah! Sebentar lagi lonceng berbunyi, ‘tu.”

“Baiklah, Chief.”

Si anak turun dari kuda putih dan berlari menuju kuda merah.

Charlie dengan tertawa terkekeh-kekeh buru-buru naik kuda putihnya. Teng-teng-teng. Lonceng tanda berputar berbunyi. Charlie melihat kepada si anak yang sekarang sudah naik punggung kuda merah. Charlie meletakkan telapak tangannya di mulutnya. Dan dengan berputarnya carousel, ditepuk-tepuknya telapak tangannya pada mulutnya : wu-wu-wu-wu, wu-wu-wu-wu-wu! Di belakangnya, si anak mulai menembak Charlie. Tam-tam-tam-tam-tam-tam!

Carousel berputar, kali itu lagu “Oklahoma” yang mengiringi.

Untuk kira-kira seperempat jam lamanya ruang carousel gegap gempita karena tembak menembak yang seru antara Buffalo Bill dan Chief Sitting Bull. Rupanya kedua pahlawan itu sama-sama sakti karena tak seorang pun yang jatuh karena tembak-menembak yang dahsyat itu.

Akhirnya Charlie pun selesai mengerjakan lima kali putaran dan turunlah dia. Si anak, karena juga telah selesai, ikut pula turun.
Charlie dan si anak sama-sama keluar.

“Itu tadi tembakan yang hebat, Chief.”

“Buffalo Bill selalu menang, Chief.”

“Betul, betul.”

“Sekarang kau mau ke mana, Chief?”

“Oh, aku harus kembali ke semak-semak sana.”

“Ke semak-semak?”

“Ya. Aku harus ketemu squaw.”

“Squaw?”

“Ya, squaw. Bukankah orang Indian laki-laki punya squaw.”

“Oh, ya, squaw. Pacar?”

“Ya, begitulah kira-kira.”

Tiba-tiba seorang diantara perempuan-perempuan yang duduk di bangku memanggil anak itu.

“Tommy!”

“Ya, Bu.”

“Ayolah. Sudah siang sekarang. Bukankah kau harus pulang makan?”

“Tapi Bu, aku harus pergi.”

“Pergi? Pergi ke mana?”

“Aku mau ikut Chief Sitting Bull ketemu squaw.”

“Ketemu apa?”

“Squaw.”

Ibu Tommy memandang Charlie. Charlie tersenyum kemalu-maluan. Tangannya meraba-raba dasinya yang lusuh, kemudian diangkatnya topinya sedikit.

“Selamat siang, Nyonya.”

Dan Charlie dengan menjinjing kantong berjalan menuju ke kebun binatang. Tommy berteriak.

“Chief, Chief!”

Tapi Charlie tidak menoleh dan ibunya juga buru-buru menyeretnya.

Di kebun binatang, Charlie duduk di bangku. Di sampingnya, duduk seorang nenek yang sebaya dengan Charlie.

“Kau lambat hari ini, Charlie.”

“Ya, maaf, Martha.”

“Burung-burung resah menunggumu. Tentulah mereka mengira tidak mendapat jagung dan jali hari ini.”

“Oh, mereka akan mendapat. Aku tidak akan lupa. Sebabnya aku lambat karena Mary, menantuku.”

“Kenapa dia?”

“Oh, seperti biasa. Menantu-menantu bukankah selalu mencoba menyabot mertua-mertua mereka tiap kali ada kesempatan? Apalagi mertua yang sudah tua-tua seperti aku atau kau. Tidak pernahkah kau disabot menantumu?”

“Tiap hari, meskipun aku tidak tinggal dengan anak dan menantuku. Ada saja akal mereka untuk terus menggangguku. Bagaimana Mary menyabot kau pagi tadi?”

“Pertama, aku dikasih toast yang gosong-gosong saja buat sarapanku. Sudah itu dikasihnya aku cereal. Dianggapnya aku ini bayi, apa? Lalu yang terakhir, dan ini yang terlalu!”

“Apakah itu?”

“Mary pura-pura lupa, tidak menyediakan uang harianku.”

“Terlalu!”

“Ya, bukankah sudah terlalu benar itu. Enak saja dia pergi ke laundromat, membiarkan mertuanya kelabakan di rumah, aku labrak habis dia. Aku bilang kalau memang dia tidak sudi lagi aku tinggal di situ, aku minta disewakan rumah sendiri. Kalau dia tidak berjanji menghentikan ulahnya yang tidak beres itu, aku mengancam mau mengadukannya kepada Johnny. Oh, nangis dia.”

“Ya,ya, sering kali menantu-menantu itu memang tidak tahu terima kasih.”

Sementara itu, sekelompok burung dara turun berkumpul di muka Charlie dan Martha. Kemudian datang lagi sekelompok, dan lagi sekelompok. Charlie mulai bersiul-siul memanggil-manggil mereka. Dikeluarkannya jagung dan jali dari kantongnya dan disebar-sebarkannya kepada burung-burung itu. Beberapa burung mulai bertengger di kedua bahunya. Mereka berebut minta makanan yang ada di tangan Charlie.

“Oh, oh, oh. Sabar, sabar, anak-anak. Sebentar kau juga dapat.”

Seekor dara putih datang bertengger di bahu Charlie dan dengan galaknya mematuk kawan-kawannya yang ada di bahu. Habislah mereka terbang, tinggal lagi si dara putih yang ada di bahu Charlie.

“Bukankah kau dara terlalu?”

“Ya, dara ini selalu nakal, Charlie. Di bawah tadi juga sudah menyikut-nyikut temannya dengan enak saja. Sekarang di bahumu begitu pula. Kita namakan saja dia, si Tamak.”

“Ya, tepat sekali, Martha. Tamak, Tamak.”

Dan si Tamak pun terbang lagi. Lama kelamaan persediaan jagung dan jali Charlie habis. Burung-burung dara itu sudah biasa dengan jatah mereka, mulai terbang lagi.

Charlie lalu membuka bungkusan sandwich-nya.

“Apa lunch-mu hari ini, Charlie?”

“Aku mendapat sandwich salad ikan tongkol. Dan kau?”

“Aku membawa sandwich salad daging kalkun.”

“Mmmm, Kalkun. Rasanya, sudah seabad aku tidak makan kalkun.”

“Aku juga sudah lama tidak makan tongkol. Begini saja Charlie, kau kasih aku separo dari tongkolmu. Aku kasih kau kalkunku. Setuju?”

“Oh, setuju sekali. Kau anak yang manis, Martha.”

Dan Martha tersenyum manis sekali mendengar itu.

Waktu jam sudah menunjukkan angka hampir setengah tiga, Charlie dan Martha berciuman dan berjanji untuk bertemu lagi esok harinya, untuk bersama-sama memberi makan burung dara.

* * *

Hawa terasa panas waktu Charlie masuk rumah.

“Kaukah itu, Pak?”

“Ya, Mary.” Dan Charlie menemui Mary di dapur.

“Segelas bir, Pak? Kau kelihatan haus sekali.”

“Ya, tepat sekali. Bir.”

“Aku juga ada semangka. Maukah seiris?”

“Ya, tepat sekali. Semangka.”

Mary tersenyum melihat mertuanya mulai makan semangka. Airnya berlelehan di mulutnya.

“Dari mana saja hari ini, Pak?”

“Oh, dari perpustakaan, baca-baca. Lalu ke Washington Square ketemu kawan-kawan lama. Kami berdebat tentang politik.”

“Oh, ya? Apa yang terjadi di dunia sekarang?”

“Oh, keadaan genting, Mary. Genting.”

“Genting?”

“Ya, Presiden Eisenhower mungkin akan memaklumkan perang kepada Stalin hari-hari ini.”

“Tapi, Pak. Eisenhower bukan lagi presiden. Dan Stalin sudah beberapa tahun mati, Pak.”

“Aaaahh, kau anak perempuan ingusan tahu apa tentang politik. Kau kan pergimu cuma ke laundromat dan supermarket tiap hari. Aku saban hari melihat dunia. Jangan kau coba sangkal aku lagi.”

Mary mengangguk-anggukkan kepala.

“Ah, ya, tentulah aku khilaf lagi. Jadi sebentar lagi akan ada perang, Pak?”

“Belum tentu. Ini tergantung kepada Stalin. Kalau Stalin tidak berani menerima tantangan Eisenhower, bagaimana bisa terjadi perang?”

“Ah, betul juga. Lagi, Pak, semangkanya?”

“Boleh. Tapi sedikit saja. Habis semangka ini aku mau tidur sebentar.”

Waktu semangka itu sudah habis, Charlie pun pergi ke kamarnya. Sebelum masuk kamar tidak lupa Charlie berpesan agar dia dibangunkan lima menit sebelum Amos dan Andy keluar di TV. Pintu kamar ditutup dan satu siang yang sibuk sudah berlalu buat Charlie.

* * *

Diketik ulang dari buku kumpulan cerita pendek Umar Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan (Pustaka Jaya, cetakan pertama 1972). Gambar ilustrasi dicomot dari sini.

http://budiwarsito.net/chief-sitting-bull/

Cerpen Favorit: Sahabat Saya Cordiaz

$
0
0

.
(cerita pendek oleh Asrul Sani)

Cerita ini mulai sebulan yang lalu, yaitu waktu saya memperoleh sebuah kamar baru. Kamar itu baik. Agak besar, cukup luas untuk tempat tidur dan rak-rak buku saya. Hawanya pun baik. Kalau hari siang ia amat panas dan kalau hari malam ia amat dingin. Sekiranya angin tidak ada, terbau bau tengik yang mesti saya atasi dengan bau obat nyamuk. Selain dari itu, ada lagi tikus. Tikus-tikus ini berusaha untuk hidup dan untuk dapat beranak-bercucu. Jadi mereka tidak lebih dari kaum proletar. Saya juga seorang proletar. Dan karena proletar seluruh dunia harus bersatu, maka akan dapatlah kami sekiranya hidup rukun dalam kamar itu. Tetapi kawan-kawan serikat saya ini, suka berpesta. Kalau kegembiraan mereka sudah naik marak, maka dimakannya buku-buku saya. Sehingga tak mengherankan, jika saya pagi-pagi harus menemui de Maupassant tak berkepala atau Dos Passos tak berpunggung.

Suatu hari datang seorang anak muda bersepatu putih, bertopi hitam, bajunya belang-belang dan ia memperkenalkan diri kepada saya sebagai: C. Darla. Ia tidak mengatakan apakah ia seorang Indo-Spanyol, atau Manila ataupun orang Indonesia yang berasal dari pulau Enggano (saya mendengar kabar, bahwa orang-orang Enggano masih memakai nama-nama Spanyol). Ia beroleh kamar yang letaknya lebih dekat ke kamar mandi. Bahasa Indonesianya langgam-langgam Singapura bercampur bahasa Inggeris sedikit-sedikit. Demikian ia bercerita tentang “British nébi yang léndid di Singapure.” Saya tertarik kepadanya, karena ia pandai berbicara tentang macam-macam pengalaman yan didapatnya di Singapura. Tentang bajingan-bajingan, “geng” katanya, tentang kaum komunis dan sebagainya. Waktu ia menyusun buku-bukunya, diberikannya buku “Atlantic Charter” kepada saya. Saya makin kagum. Tetapi kemudian hari dikatakannya, bahwa buku roman yang sebagus-bagusnya, ialah buku “Elang Mas” karangan Jusuf Sou’yb. Segera hilang kagum saya. Sungguhpun demikian kami tetap bersahabat.

Pergaulan kami amat rapat, sehingga banyaklah yang berkecil-kecil yang diceritakannya kepada saya. Ia menceritakan, bahwa ia mempunyai darah Spanyol, tetapi ia telah lama tinggal di Indonesia. Sebelum ia datang ke mari, ia berdiam di Singapura. Kedatangannya ke Jakarta membawa kisah sedih. Ia harus meninggalkan kekasihnya seorang gadis Pilipina di Singapura. Sesudah menceritakan itu ia mengetik ucapan-ucapan pernyataan-cinta dalam bahasa Inggeris yang tunggang-balik, lalu ditinggalkan di kamar saya. Tentang pekerjaannya ia tidak pernah berbicara. Hanya ia berangkat pukul 9 dari rumah dan pukul 1 telah ada pula. Tetapi rupanya pekerjaannya amat banyak, sehingga setiap sore ia meminjam mesin ketik, lalu mengetik terus-menerus. Sesudah itu lalu dibakarnya segala kertas yang diketiknya tadi. Lalu ia bersungut-sungut. Kemudian ia datang kepada saya untuk mengatakan, bahwa mesin ketik saya kurang “enak”. Kalau boleh ia hendak membawanya ke bengkel supaya diminyaki. Ini saya izinkan. Lalu ia hendak membelikan saya pita mesin ketik yang berwarna merah-hitam. Itupun saya setujui dengan hati yang tulus-ikhlas. Demikian ia melakukan perbuatan-perbuatan yang ganjil-ganjil dan yang penuh simbolik, sehingga menarik perhatian segala isi rumah. Ia menjadi pusat perhatian. Entah memang itu maksudnya, saya tidak tahu. Tetapi ia berhasil benar, sehingga tiada lagi orang yang menghiraukan keluhan-keluhan saya setiap pagi tentang pengarang anu yang kehilangan kepala atau yang kehabisan punggung ataupun yang pecah-pecah kulit. Demikian saya tinggal dengan teman-teman serikat saya yang menjadi musuh saya dan saya C. Darla yang mengalahkan saya.

Pernah Darla bertanya tentang cinta kepada saya, dan apakah telah banyak pengalaman saya tentang hal ini. Rupanya sangat tertarik benar hatinya akan pokok percakapan ini, sehingga kadang-kadang samoai sekerat malam kami bercakap-cakap. Katanya, ia masih muda, masih ingin melihat dunia dan belum mau kawin. Tetapi ia sekarang sedang tersangkut pada suatu perkara yang sulit. Perkara itu, ialah perkara kasih-sayang juga.

Sekali ia pulang membawa sebuah gelang rantai perak, seperti yang biasa saya lihat dipakai oleh serdadu-serdadu India atau Australia. Gelang itu diperlihatkannya kepada saya. Di sana tertulis: Cordiaz Darla. Jadi sahabat saya itu ialah: Cordiaz. Bukan nama Indonesia. Saya tidak tahu berbahasa Spanyol, tetapi kalau mendengar-dengar bunyinya, ada juga mengarah-arah sedikit. Sama enak kedengarannya, seperti perkataan Ortega dalam buku Ortega y Gasset dan perkataan Fernando dalam nama Fernando Poe. Percakapan kami malam itu dimulainya dengan ketawa besar. Sesudah itu ia berbicara tentan Arni. Saya tidak kenal Arni. Katanya, Arni, ialah “bekas” kekasihnya, dan sekarang gadis itu sudah kurus kering, karena ia tidak pernah datang lagi ke rumahnya. “Tidak ada orang yang dapat menggantikan saya,” katanya. “Huh!! Awak kire awak punya negeri! Ayahnya mesti datang kepada saya, minta ampun, baru saya datang ke sana. Ia mesti mendapat ajaran sedikit.”

“Jadi, menang lagi?” tanya saya.

“Siapa bilang kalah,” katanya.

Saya ikut tertawa karena sahabat saya menang. Tapi, Arni panjang umurnya di rumah kami, karena sahabat saya itu, mempercakapkan Arni saja kerjanya. “Ia tidak dapat bercerai dengan saya. Hatinya hancur luluh,” katanya. “Semua salah bapaknya. Sekarang anaknya makan hati.” Ia makin hari makin tidak senang diam. Surat-surat yang diketiknya makin lama makin banyak. Tetapi sebanyak itu yang diketiknya, sebanyak itu pula yang dibakarnya. Kalau ia tidak menyeterika celananya, ia mengetik, kalau ia tidak mengetik, ia ke luar rumah. Perginya terburu-buru. Tetapi secepat itu perginya, selekas itu pula kembalinya. Kalau sedang makan ia bercerita tentang saya-kasihan-sama-Arni.

Suatu malam ia pulang bergegas-gegas. Terus ke kamar saya.

“Ia mencari dukun,” katanya. “Saya mau diberi guna-guna. Bangsat! Saya juga ada dukun.”

Entah dari mana ia mendapat kemauan untuk pergi kepada dukun, entah dari ibunya, entah dari neneknya orang Spanyol, saya tidak tahu. Pendeknya—ia pergi kepada dukun. Sore-sore itu ia mengirim surat dan suatu bungkusan kepada Arni. Surat dan bungkusan itu kembali malam itu juga. Sesudah menerima itu, rupanya runtuh segala pasak-pasak tubuhnya. Dengan terbungkuk-bungkuk ia masuk ke kamarnya, lalu dikuncinya pintu erat-erat. Esok harinya, waktu saya kembali dari berjalan-jalan, saya lihat kopornya tidak ada lagi. Di atas meja saya ada surat. Di dalamnya tertulis: “Saya tidak tahan lagi tinggal di sini. Rumah ini terlampau ribut buat saya.” Kasihan! Rupanya banyak juga tikus-tikus dalam kamarnya. Dan kawan-kawan serikat saya ini rupanya bertindak sebagai kaum kapitalis, sehingga sahabat saya yang sama proletarnya dengan saya, tidak dapat bersatu dengan mereka—lalu pergi.

Sangka saya selesailah riwayat Cordiaz Darla. Tetapi minggu yang lampau saya mendengar kabar, bahwa ia telah kawin dengan seorang janda yang beranak lima. Saya pergi ke rumahnya. Agak merumuk ia sedikit waktu saya temui. Saya tanyakan bagaimana mereka kawin. “Bagaimana orang Indonesia kawin,” kata istrinya. Perempuan ini peramah betul dan ia lebih berpengalaman dari Darla, sehingga tak dibiarkannya Darla banyak cakap. Ia memperlihatkan surat kawin mereka kepada saya. Saya baca di sana nama: Chaidir Darla, jadi huruf C itu tidak berarti Cordiaz. Namanya memang Chaidir, karena istrinya memanggil, “Dir, Dir!” Jadi ia bukan orang Spanyol atau Pilipina. Waktu saya mau pergi saya katakan kepada Darla, bahwa saya ikut berbesar hati. Saya berjanji akan mendoa-doakan supaya mereka lebih banyak mendapat anak. “Ingat,” kata saya, “Orang tua-tua bilang: banyak anak, banyak padi!” Istrinya tersenyum berseri-seri.

Dua hari yang lalu saya menerima surat dari Darla. Dalam surat itu tertulis: “Saya tidak tahan lagi tinggal di sini. Tolonglah saya!”

Saya maklum sudah. Bagaimana ia akan tahan, kalau hatinya keras untuk jadi orang Spanyol atau orang Pilipina, sedang orang menganggap dia orang Indonesia. Lagi pula apalah salahnya. Bangsa saya banyak sudah yang menjadi orang Belanda, mengapa pula tidak akan diberi kesempatan kepadanya untuk menjadi orang Spanyol. Orang Indonesia belum banyak yang jadi orang Spanyol. Sebab itu saya kirimkan uang 50 rupiah dan saya tulis pada surat pengantarnya: “Untuk ongkos menjadi orang Spanyol.” Surat ini tidak berbalas. Menurut kira-kira saya sudah berhasil kehendaknya.

Tapi tadi pagi, saya lewat bersepeda di depan rumah Darla. Kebetulan saya bertemu dengan bujang perempuannya, lalu saya tanyakan kalau-kalau ia tahu tentang amplop berisi uang yang saya kirimkan.

“Ya, saya sendiri yang kasih sama nyonya,” jawabnya.

“Sama nyonya? Jadi…?”

“Nyonya terus beli kebaya baru.”

“O, bagus, bagus.” (Hati saya berkata, celaka tiga belas).

“Tuan sekarang di mana?”

“Katanya, kerja di bagian distribusi. Masuk dulu tuan!”

“Ndak, ndak. Lain kali saja.”

Saya pergi.

Ah, kandas. Tragis betul. Belum juga rupanya sampai cita-cita Darla untuk bernama: Cordiaz Darla. Tetapi tidak apa, siapa tahu ia besok menjadi orang Jerman atau orang Amerika.

* * *

Diketik ulang dari buku kumpulan cerita pendek Asrul Sani, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat (Pustaka Jaya, cetakan pertama 1972). Asrul Sani juga menulis beberapa naskah film Indonesia yang kemudian menjadi klasik. Salah satu di antaranya adalah, yang juga dia sutradarai, film Indonesia dengan judul paling magis sepanjang sejarah perfilman nasional: Apa jang Kau Tjari, Palupi? (1969).

http://budiwarsito.net/cerpen-favorit-sahabat-saya-cordiaz/

Viewing all 101 articles
Browse latest View live